Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) diketahui sebagai pendekatan yang telah berhasil di Nederlands. Ada suatu hasil yang menjanjikan dari penelitian kuantitatif dan kualitatif yang telah ditunjukkan bahwa siswa yang telah memperoleh pembelajaran dengan pendekatan RME mempunyai skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan tradisional dalam hal ketrampilan berhitung, lebih khusus lagi dalam hal aplikasi. Erman Suherman yang mengutip dari Freudenthal, Gravemaijer, dan Streefland menegaskan bahwa gagasan pendekatan pembelajaran matematika dengan realistic ini tidak hanya popular di negeri Belanda saja, melainkan banyak mempengaruhi kerja para pendidik matematika di banyak bagian di dunia.
RME/PMR (Realistic Mathematic Education/ Pendidikan Matematika Realistik) dikembangkan oleh Hans Freudental dari Belanda. Gagasan RME muncul sebagai jawaban terhadap adanya gerakan 'matematika modern' di Amerika Serikat (dan pengikutnya) dan adanya praktik pembelajaran matematika secara mekanistik di Belanda. Menurut Freudental, matematika harus dikaitkan dengan realitas kehidupan, dekat dengan alam pikiran siswa dan relevan dengan masyarakat agar mempunyai nilai manusiawi. Matematika haruslah tidak dipandang sebagai materi pelajaran yang harus disampaikan kepada siswa atau orang lain tetapi hendaklah dipandang sebagai kegiatan manusia, sehingga pendidikan matematika haruslah dipandang sebagai kegiatan yang disebut proses matematisasi.
Kuiper & Knuver yang dikutip oleh Erman Suherman mengemukakan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan realistik sekurang-kurangnya dapat membuat:
· Matematika lebih menarik, relevan, dan bermakna, tidak terlalu formal dan tidak terlalu abstrak.
· Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa.
· Menekankan belajar matematika pada ’learning by doing’.
· Memfasilitasi penyelesain masalah matematika dengan tanpa menggunakan penyelesaian (algoritma) yang baku.
· Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika.
Proses matematisasi dirumuskan sebagai matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal adalah pemunculan atau pemajuan 'alat matematis' atau 'model matematis' oleh siswa dari usahanya memecahkan masalah yang terkandung dalam situasi kehidupan nyata. Matematisasi vertikal adalah proses mengorganisasi ulang 'alat matematis' atau 'model matematis' yang telah muncul atau diajukan oleh siswa pada proses matematisasi horizontal ke dalam sistem matematik, seperti penemuan jalan pintas penyelesaian soal, penemuan hubungan antara konsep-konsep matematis atau antara strategi-strategi penyelesaian soal,dan penerapan dari penemuan itu.
Pembelajaran Matematika Realistik didasarkan pada lima asas, yaitu:
a) Belajar matematika adalah kegiatan yang unsur utama dan pertamanya adalah kegiatan konstruktif seperti yang didefinisikan dalam teori pembelajaran konstruktivistik (konsep konstruktif dalam paham konstruktivistik).
b) Belajar konsep atau ketrampilan matematis merupakan proses. Proses itu sering mempunyai rentang waktu yang panjang (lama) dan bergerak dalam berbagai tempat abstraksi.
c) Belajar matematika, khususnya peningkatan taraf proses belajar dapat terlaksana melalui refleksi, yaitu dengan memikirkan proses belajarnya sendiri atau lanjutan dari proses itu.
d) Belajar bukan hanya kegiatan "solo", melainkan juga merupakan suatu proses yang terjadi di masyarakat (kelompok) dan diarahkan serta dirangsang oleh konteks sosial.
e) Belajar matematika tidak terdiri atas penyerapan sekelompok pengetahuan yang tanpa kait-mengait dan unsur-unsur ketrampilan tetapi merupakan konstruksi pengetahuan dan ketrampilan menjadi kesatuan yang terstruktur.
Dalam filosofi realistic, kepada siswa diberikan tugas-tugas yang mendekati kenyataan, yaitu yang dari dalam siswa akan memperluas dunia kehidupannya. Kemajuan individu maupun kelompok dalam proses belajar – seberapa jauh dan seberapa cepat- akan menentukan spektrum perbedaan dari hasil belajar dan posisi individu tersebut.
Matematika realistik yang dimaksud di sini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan lingkungan siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah yang nyata atau yang telah dikuasai atau dapat dibayangkan dengan baik oleh siswa digunakan sebagai sumber munculnya konsep atau pengertian-pengertian matematika yang semakin meningkat keabstrakannya. Pembelajaran tidak mulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat dan selanjutnya diikuti dengan contoh-contoh. Namun sifat, definisi, teorema itu diharapkan "seolah-olah ditemukan kembali" oleh siswa.
Dalam kerangka Realistic Mathematics Education,Freudenthal (1991) menyatakan bahwa “Mathematics is human activity”, karenanya pembelajaran matematika disarankan berangkat dari aktivitas manusia.
Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik mengacu pada paham kontruktivisme. Kontruktivisme merupakan suatu teori atau faham yang menyatakan bahwa setiap pengetahuan atau kemampuan hanya bisa dikuasi (dipahami secara sungguh-sungguh) oleh seseorang apabila orang itu secara aktif mengkonstruksi/membentuk pengetahuan atau kemampuan itu di dalam pikirnya.
Kegiatan belajar menurut paham ini adalah kegiatan yang aktif. Siswa membangun sendiri pengetahuan, siswa memberi makna sendiri dari apa yang dipelajari. Proses mencari ini adalah proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran siswa. Siswa sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Mereka membawa pengertiannya yang lama ke dalam situasi belajar yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkan dengan apa yang telah siswa ketahui serta menyelesaikan ketegangan antara apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman baru.
Kontruktivisme beranggapan bahwa mengajar bukan merupakan kegiatan memindahkan atau mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Peran guru dalam mengajar lebih sebagai mediator dan fasilitator. Guru memfasilitasi agar proses pembentukan (kontruksi) pengetahuan pada diri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal. Sebagai contoh, jika seorang siswa membuat kesalahan dalam mengerjakan sebuah soal. Sebaiknya guru tidak langsung memberitahukan dimana letak kesalahannya. Diharapkan guru mengajukan beberapa pertanyaan untuk menuntun siswa sehingga pada akhirnya siswa menemukan sendiri letak kesalahan tersebut. Agar proses kontruksi pengetahuan dalam pikiran siswa bisa berlangsung secara optimal, guru bisa membantu siswa dengan cara memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai.
Menurut Suharto Hadi yang telah dikutip oleh El Metta Sari, dalam Pembelajaran Matematika Realistik terdapat beberapa konsepsi. Konsepsi tersebut adalah:
1. Konsepsi Pembelajaran Matematika Realistik tentang siswa
a. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
b. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.
c. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.
d. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pegalaman.
e. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.
2. Konsepsi Pembelajaran Matematika Realistik tentang guru:
a. Guru hanya sebagai fasilitator belajar.
b. Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif.
c. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya atau dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil.
d. Guru tidak terpancing pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif dalam mengartikan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.
3. Konsepsi Pembelajaran Matematika Realistik pengajaran:
Pengajaran matematika dalam pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik meliputi aspek-aspek berikut:
a. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang "riil" bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna.
b. Permasalah yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut.
c. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbol secara informal terhadap persoalan atau masalah yang diajukan.
d. Pengajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap pelajaran.
Beberapa ciri khas yang menonjol dari Pendekatan Matematika Realistik adalah:
a) Penggunaan masalah atau soal-soal berkonteks kehidupan nyata (kontekstual) yang konkret atau yang ada dalam pikiran alam siswa sebagai titik awal proses pembelajaran. Masalah-masalah itu dapat disajikan dalam bahasa biasa atau cerita, bahasa lambang, benda konkret atau model (gambar, grafik, tabel dan lain-lain). Pada pembelajaran matematika mekanistik, masalah atau soal-soal kontekstual juga kadang digunakan, namun biasanya hanya pada akhir pembelajaran sebagai contoh atau soal-soal penerapan dari materi matematika yang dipelajari. Sementara pada pembelajaran matematika realistik masalah atau soal-soal kontekstual digunakan sebagai sumber pemuncullan konsep sekaligus objek penerapan matematika. Melalui soal kontekstual yang dihadapi, siswa diharapkan menemukan alat matematis atau model matematis sekaligus pemahaman tentang konsep atau prinsip matematika.
b) Menghindari cara mekanistik yang berfokus pada prosedur penyelesaian soal. Cara mekanistik itu memecah cara pembelajaran menjadi bagian-bagian kecil yang tidak bermakna dan berisi latihan menyelesaikan soal-soal yang kecil-kecil itu. Pendekatan matematika realistik mendorong siswa untuk memunculkan atau mengajukan suatu cara berupa alat atau model matematis dari soal kontekstual yang dihadapinya.
c) Siswa diperlakukan sebagai peserta aktif dalam pembelajaran, diusahakan agar siswa sendiri yang menemukan atau mengembangkan alat atau model dan pemahaman matematis melalui penemuan dengan bantuan guru, diskusi dengan teman, maupun menemukan sendiri.
d) Ada keseimbangan antara proses matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal artinya pembelajaran tidak cepat bergerak menuju materi yang lebih abstrak. Menghargai jawaban informal siswa sebelum sampai pada tahap mempelajari bentuk formal matematika (proses matematisasi vertikal), sehingga ada kesempatan merefleksi, menginterprestasi dan menginternalisasi hal yang dipelajari.
e) Pembelajaran matematika tidak semata-mata memberi penekanan pada komputasi dan hanya mementingkan langkah-langkah prosedural (driil) namun juga memberi penekanan pada pemahaman konsep dan pemecahan masalah.
Treffers dan Van den Heuvel-Panhuizen yang dikutip oleh I Gusti Putu Suharta mengemukakan bahwa karakteristik pendekatan matematika realistik adalah menggunakan konteks "dunia nyata", model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaksi serta keterkaitan (intertwinment).
a) Menggunakan konteks "dunia nyata"
konsep matematika diperoleh dengan memberi masalah dari dunia nyata (kontekstual). Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang mereka peroleh, kemudian siswa mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata.
b) Menggunakan model-model (matematisasi).
Dalam matematika realistik siswa mengembangkan model sendiri kemudian model tersebut dijadikan dasar untuk mengembangkan matematika formalnya. Ada dua macam model yang terjadi dalam proses tersebut yakni model dari situasi (model of situation) dan model untuk matematis (models for formal matematics). Model ini berperan sebagai jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.
c) Menggunakan produksi dan konstruksi
Siswa dengan arahan guru mengkonstruksi dan menghasilkan matematika dengan cara dan bahasa mereka sendiri. Kemudian dilakukan refleksi terhadap hasil aktivitas matematika siswa dalam mengkonstruksi konsep.
d) Menggunakan interaktif
Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam Pendekatan Matematika Realistik. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, dan pertanyaan.
e) Menggunakan keterkaitan (intertwinment).
Pengaitan (intertwining) antar pokok bahasan sangat penting dalam matematika realistik. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan struktur materi secara matematis. Setiap pokok bahasan tidak berdiri sendiri tetapi diintegrasikan dengan yang lain.
Harapan implementasi pembelajaran matematika berdasarkan realistik menurut Turmudi yang diadopsi oleh Erman Suherman adalah:
a. Sekurang-kurangnya telah mengubah sikap siswa menjadi lebih tertarik terhadap matematika;
b. Pada umumnya siswa menyenangi matematika dengan pendekatan pembelajaran yang diberikan dengan alasan cara belajarnya berbeda (dari biasanya), pertanyaan-pertanyaannya menantang, adanya pertanyaan-pertanyaan tambahan sehingga menambah wawasan, lebih mudah mempelajarinya karena persoalannya menyangkut kehidupan sehari-hari.
Menurut Suharta yang telah dikutip oleh Asmin mengemukakan bahwa implementasi pendekatan matematika realistik di kelas meliputi tiga fase yakni: fase pengenalan, fase eksplorasi dan fase meringkas. Pada fase pengenalan, guru memperkenalkan masalah realistik dalam matematika kepada seluruh siswa serta membantu untuk memberi pemahaman (setting) masalah. Pada fase ini sebaiknya ditinjau ulang semua konsep-konsep yang berlaku sebelumnya dan diusahakan untuk mengaitkan masalah yang dikaji saat itu ke pengalaman siswa sebelumnya. Pada fase eksplorasi, siswa dianjurkan bekerja secara individual, berpasangan atau dalam kelompok kecil. Di sini guru berupaya meyakinkan siswa dengan cara memberi pengertian sambil berjalan mengelilingi siswa, melakukan pemeriksaan terhadap pekerjaan siswa, dan memberi motivasi kepada siswa untuk giat bekerja. Dalam hal ini, peranan guru adalah memberikan bantuan seperlunya kepada siswa yang memerlukan bantuan. Pada fase meringkas, guru dapat mengawali pekerjaan lanjutan setelah siswa menunjukkan kemajuan dalam pemecahan masalah. Sebelumnya mendiskusikan pemecahan-pemecahan dengan berbagai strategi yang mereka lakukan. Peranan siswa dalam fase ini sangat penting seperti: mengajukan dugaan, pertanyaan kepada yang lain, bernegosiasi, alternatif-alternatif pemecahan masalah, memberikan alasan, memperbaiki strategi dan dugaan mereka, dan membuat keterkaitan. Sebagai hasil dari diskusi, siswa diharapkan menemukan konsep-konsep awal/utama atau pengetahuan matematika formal sesuai dengan tujuan materi. Dalam fase ini guru juga dapat membuat keputusan pengajaran yang memungkinkan semua siswa dapat mengaplikasikan konsep atau pengetahuan matematika formal.
Sugeng Rawuh
Selamat datang di sarana belajar yang ala kadarnya ini. semoga bisa menjadi media pembelajaran kita untuk terus belajar dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran dan pendidikan matematika.
knowledge is a power
information is liberating
education is the premise of progress, in every society, in every family
knowledge is a power
information is liberating
education is the premise of progress, in every society, in every family
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar