Sugeng Rawuh

Selamat datang di sarana belajar yang ala kadarnya ini. semoga bisa menjadi media pembelajaran kita untuk terus belajar dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran dan pendidikan matematika.
knowledge is a power
information is liberating
education is the premise of progress, in every society, in every family

Selasa, 01 September 2009

COOPERATIVE LEARNING dalam PEMBELAJARAN MATEMATIKA

A. Pandangan Konstruktivis mengenai Cooperative Learning
Sebagian besar pembelajaran matematika tradisional berdasarkan pada transmisi, penyerapan dan penggerojokan pengetahuan. Dalam pandangan ini, siswa secara pasif “menyerap” struktur matematika yang diberikan guru atau yang terdapat dalam buku pelajaran. Pembelajaran hanya sekedar penyampaian fakta, konsep, prinsip dan keterampilan kepada siswa (Clements & Battista, 2001).
Pandangan konstruktivis memberikan perbedaan yang tajam dan kontras terhadap pandangan tersebut. Prinsip-prinsip dasar pandangan konstruktivis menurut Clements & Battista (2001) adalah sebagai berikut.
a.    Pengetahuan dibentuk dan ditemukan oleh siswa secara aktif, tidak sekedar diterima secara pasif dari lingkungan. Ide ini dapat diilustrasikan bahwa ide-ide matematika dibentuk oleh siswa, tidak sekedar ditemukan sebagai barang jadi atau diterima dari orang lain sebagai hadiah. Hal ini, senada dengan pendapat Orton (1992:163) bahwa materi dikonstruksi sendiri maknanya oleh siswa.
b.    Siswa mengkonstruk pengetahuan matematika dengan melakukan refleksi fisik dan mental, yaitu berbuat dan berpikir. Ide-ide dikonstruksi secara bermakna dengan cara diintegrasikan ke dalam struktur pengetahuan yang telah ada.
c.    Tidak ada realitas yang sebenarnya, siswa sendirilah yang membuat interpretasi mengenai dunia. Interpretasi ini dibentuk dengan pengalaman dan interaksi sosial. Jadi, belajar matematika harus berupa proses bukan hasil.
d.    Belajar adalah proses sosial. Ide-ide dan kebenaran matematika baik dalam penggunaan dan maknanya ditetapkan secara bersama oleh anggota suatu kelompok masyarakat (budaya).
Pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivis menurut Hudojo (1998) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) siswa terlibat aktif dalam belajarnya. Siswa belajar materi matematika secara bermakna dengan bekerja dan berpikir, (b) informasi baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu dengan skemata yang dimiliki siswa, dan (c) orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Implikasi ciri-ciri pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivis adalah penyediaan lingkungan belajar yang konstruktif. Lingkungan belajar yang konstruktif menurut Hudojo (1998) adalah lingkungan belajar yang memenuhi kriteria berikut ini:
1.    menyediakan pengalaman belajar yang mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan;
2.    menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar;
3.    mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkret;
4.    mengintegrasikan pembelajaran yang memungkinkan terjadinya interaksi dan kerja sama antara siswa;
5.    memanfaatkan berbagai media agar pembelajaran lebih menarik; dan
6.    melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika lebih menarik dan siswa mau belajar.
Pandangan konstruktivis lahir dari gagasan Piaget dan Vygotksy. Keduanya menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsep-konsep yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui proses ketidakseimbangan untuk memahami informasi baru. Piaget dan Vygotksy juga menekankan adanya hakikat sosial dari belajar, dan keduanya menyarankan penggunaan kelompok belajar yang anggotanya terdiri dari siswa dengan kemampuan yang beragam untuk mengupayakan perubahan konseptual. Ide-ide konstruktivis modern sekarang lebih banyak didasarkan pada ide-ide Vygotksy, yang telah digunakan untuk menunjang belajar kooperatif (Nur, Wikandari & Sugiarto, 1999). Bahkan menurut Johar (2001) tokoh-tokoh konstruktivis menganjurkan penggunaan belajar kooperatif. Menurut Sutawidjaja (2002), bahwa belajar kooperatif adalah salah satu alternatif yang perlu digalakkan dalam kontruktivisme karena pertimbangan sebagai berikut.
a.  Siswa yang sedang menyelesaikan masalah bersama-sama dengan teman sekelompoknya dalam kegiatan belajar kelompok masing-masing melihat bagaimana masalah itu dan merancang pemecahannya. Kegiatan ini merupakan cara menumbuhkan refleksi yang membutuhkan kesadaran tentang apa yang sedang dipikirkan dan dikerjakan. Dengan demikian menyediakan kesempatan siswa untuk mengabstraksikan secara aktif.
b. Menjelaskan sesuatu kepada teman biasanya mengarah ke pada siswa untuk melihat sesuatu lebih jelas dan seringkali menemukan ketidakkonsistenan pada pikirannya sendiri.
c. Ketika suatu kelompok kecil menerangkan solusinya ke seluruh kelas (tidak peduli apakah solusi layak atau tidak), kelompok itu memperoleh kesempatan yang berharga untuk mempelajari hasil yang mereka buat.
d. Mengetahui bahwa ada teman sekelompoknya belum bisa menjawab, akan meningkatkan kegairahan setiap anggota kelompok untuk mencoba menemukan jawabannya.
e. Keberhasilan suatu kelompok menemukan suatu jawaban akan menumbuhkan motivasi mereka untuk menghadapi masalah baru.
B. Belajar Kooperatif (Cooperative Learning)
Sekitar tahun 1960-an, belajar kompetitif dan individualistik telah mendominasi pendidikan di Amerika Serikat. Siswa biasanya datang ke sekolah dengan harapan untuk berkompetisi dan tekanan dari orang tua untuk menjadi yang terbaik. Dalam belajar kompetitif dan individualistik, guru menempatkan siswa terpisah dari siswa yang lain. Kata-kata “dilarang mencontoh”, “geser tempat dudukmu”, “Saya ingin agar kamu bekerja sendiri” dan “jangan perhatikan orang lain, perhatikan dirimu sendiri” sering digunakan dalam belajar kompetitif dan individualistik (Johnson & Johnson, 1994). Proses belajar seperti itu masih terjadi dalam pendidikan di Indonesia sekarang ini.
Jika disusun dengan baik, belajar kompetitif dan individualistik akan efektif dan merupakan cara memotivasi siswa untuk melakukan yang terbaik. Meskipun demikian terdapat beberapa kelemahan pada belajar kompetitif dan individualistik, yaitu (a) kompetisi siswa kadang tidak sehat, sebagai contoh jika seorang siswa menjawab pertanyaan guru, siswa yang  lain berharap agar jawaban yang diberikan salah, (b) siswa berkemampuan rendah akan kurang termotivasi, (c) siswa berkemampuan rendah akan sulit untuk sukses dan semakin tertinggal, dan (d) dapat membuat frustrasi siswa lainnya (Slavin, 1995). Untuk menghindari hal-hal tersebut dan agar siswa dapat membantu siswa yang lain untuk mencapai sukses, maka jalan keluarnya adalah dengan belajar kooperatif.
Belajar kooperatif bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai guru dan mungkin sebagai siswa kita pernah menggunakannya atau mengalaminya, sebagai contoh saat bekerja dalam laboratorium. Dalam belajar kooperatif, siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 orang untuk bekerja sama dalam menguasai materi yang diberikan guru (Slavin, 1995; Eggen & Kauchak, 1996; Suherman, 2001). Artzt & Newman (1990:448) menyatakan bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya.
Kelompok belajar kooperatif adalah kelompok yang dibentuk dengan tujuan untuk memaksimalkan belajar antara siswa (Johnson & Johnson, 1994). Setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab terhadap (a) kontribusi mereka dalam usaha mencapai tujuan dan (b) bantuan untuk anggota yang membutuhkan (Johnson & Johnson, 1994).
Belajar kooperatif mempunyai ide bahwa siswa bekerja sama untuk belajar dan bertanggung jawab pada kemajuan belajar temannya. Sebagai tambahan, belajar kooperatif menekankan pada tujuan dan kesuksesan kelompok, yang hanya dapat dicapai jika semua anggota kelompok mempelajari tujuan (penguasaan materi) yang akan dicapai (Slavin, 1995). Johnson & Johnson (1994) menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Karena siswa bekerja dalam suatu tim, maka dengan sendirinya dapat memperbaiki hubungan di antara para siswa dari berbagai latar belakang etnis dan kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan pemecahan masalah (Louisell & Descamps, 1992).
Zamroni (2000) mengemukakan bahwa manfaat penerapan belajar kooperatif adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level individual. Di samping itu, belajar kooperatif dapat mengembangkan solidaritas sosial di kalangan siswa. Dengan belajar kooperatif, diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang memiliki prestasi akademik yang cemerlang dan memiliki solidaritas sosial yang kuat.
Ditinjau dari sudut pandang perkembangan kognitif, belajar kooperatif berdasar pada pendapat Piaget dan Vygotsky (dalam Johnson & Johnson, 1994). Menurut Piaget, ketika siswa bekerjasama dalam suatu lingkungan, konflik sosiokognitif akan terjadi dan membentuk ketidakseimbangan kognitif (disequilibrium). Lebih lanjut, Piaget berpendapat bahwa selama usaha kooperatif, partisipan akan meningkatkan diskusi sehingga konflik kognitif terjadi dan akan dipecahkan serta penalaran yang salah akan nampak dan akan segera dimodifikasi. Menurut Vygotsky pengetahuan adalah bersifat sosial dan belajar terjadi dalam interaksi sosial (dalam Ibrahim & Nur, 2000).  Hal ini, sesuai dengan pendapat Bruner (dalam Ibrahim & Nur, 2000) bahwa interaksi sosial merupakan hal yang penting dalam belajar karena dapat berpengaruh pada perilaku pemecahan masalah oleh siswa. 
            Menurut Johnson & Johnson (1994), terdapat lima unsur penting dalam belajar kooperatif, yaitu seperti berikut ini.
1.      Saling ketergantungan yang bersifat positif antar siswa
      Dalam belajar kooperatif siswa merasa bahwa mereka sedang bekerja sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain. Seorang siswa tidak akan sukses kecuali semua anggota kelompoknya juga sukses. Siswa akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok yang juga mempunyai andil terhadap suksesnya kelompok.
2.      Interaksi antar siswa yang semakin meningkat
       Belajar kooperatif akan meningkatkan interaksi antar siswa. Hal ini, terjadi dalam hal seorang siswa akan membantu siswa lain untuk sukses sebagai anggota kelompok. Saling memberikan bantuan ini akan berlangsung secara alamiah karena kegagalan seseorang dalam kelompok mempengaruhi suksesnya kelompok. Untuk mengatasi masalah ini, siswa yang membutuhkan bantuan akan mendapatkan dari teman sekelompoknya. Interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif adalah dalam hal tukar menukar ide mengenai masalah yang sedang dipelajari bersama.
3.      Tanggung jawab individual
       Tanggung jawab individual dalam belajar kelompok dapat berupa tanggung jawab siswa dalam hal (a) membantu siswa yang membutuhkan bantuan dan (b) bahwa siswa tidak dapat hanya sekedar “membonceng” pada hasil kerja teman sekelompoknya.
4.      Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil
       Dalam belajar kooperatif, selain dituntut untuk mempelajari materi yang diberikan seorang siswa dituntut untuk belajar bagaimana berinteraksi dengan siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana siswa bersikap sebagai anggota kelompok dan menyampaikan ide dalam kelompok akan menuntut keterampilan khusus.
5.      Proses kelompok
       Belajar kooperatif tidak akan berlangsung tanpa proses kelompok. Proses kelompok terjadi jika anggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka akan mencapai tujuan dengan baik dan membuat hubungan kerja yang baik.
Konsep utama dari belajar kooperatif menurut Slavin (1995) adalah sebagai berikut.
1.      Penghargaan kelompok, yang akan diberikan jika kelompok mencapai kriteria yang ditentukan.
2.      Tanggung jawab individual, bermakna bahwa suksesnya kelompok tergantung pada belajar individual semua anggota kelompok. Tanggung jawab ini terfokus dalam usaha untuk membantu yang lain dan memastikan setiap anggota kelompok telah siap menghadapi evaluasi tanpa bantuan yang lain.
3.      Kesempatan yang sama untuk sukses, bermakna bahwa siswa telah membantu kelompok dengan cara meningkatkan belajar mereka sendiri. Hal ini memastikan  bahwa siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah sama-sama tertantang untuk melakukan yang terbaik dan bahwa kontribusi semua anggota kelompok sangat bernilai.
C. Keunggulan Belajar Kooperatif
Menurut Ibrahim dkk (2000) belajar kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar daripada dengan belajar kompetitif dan individualistik. Lebih lanjut, Ibrahim dkk (2000) menyatakan bahwa belajar kooperatif dapat mengembangkan tingkah laku kooperatif dan hubungan yang lebih baik antar siswa, dan dapat mengembangkan kemampuan akademis siswa. Siswa belajar lebih banyak dari teman mereka dalam belajar kooperatif daripada dari guru. Ratumanan (2002) menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif dapat memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Menurut Kardi & Nur (2000) belajar kooperatif sangat efektif untuk memperbaiki hubungan antar suku dan etnis dalam kelas multibudaya dan memperbaiki hubungan antar siswa normal dan siswa penyandang cacat.
Johnson & Johnson (1994) menyatakan bahwa belajar kooperatif dapat digunakan dalam setiap jenjang pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, dalam semua bidang materi dan dalam sebarang tugas. Selain itu, Slavin (1995) menyatakan bahwa belajar kooperatif telah digunakan secara intensif pada setiap subjek pendidikan, dalam semua jenjang pendidikan dan pada semua jenis persekolahan di berbagai belahan dunia.
Uraian di atas, mendorong perlunya pelaksanaan belajar kooperatif dalam pembelajaran khususnya pembelajaran matematika. Pelaksanaan belajar kooperatif sangat diperlukan karena dengan belajar kooperatif dapat diperoleh bahwa (1) siswa dapat belajar lebih banyak, (2) siswa lebih menyukai lingkungan persekolahan, (3) siswa lebih menyukai satu sama lain, (4) siswa mempunyai penghargaan yang lebih besar terhadap diri sendiri, dan (5) siswa belajar keterampilan sosial secara lebih efektif (Johnson & Johnson, 1994).
Davidson (1991) memberikan sejumlah implikasi positif dalam belajar matematika dengan menggunakan strategi belajar kooperatif, yaitu sebagai berikut.
1. Kelompok kecil memberikan dukungan sosial untuk belajar matematika. Kelompok kecil membentuk suatu forum dimana siswa menanyakan pertanyaan, mendiskusikan  pendapat, belajar untuk mendengarkan pendapat dapat orang lain, memberikan kritik yang membangun dan menyimpulkan penemuan mereka dalam bentuk tulisan.
2.  Kelompok kecil menawarkan kesempatan untuk sukses bagi semua siswa dalam matematika. Interaksi dalam kelompok dirancang untuk semua anggota mempelajari konsep dan strategi pemecahan masalah.
3. Masalah matematika idealnya cocok untuk diskusi kelompok, sebab memiliki solusi yang dapat didemonstrasikan secara objektif. Seorang siswa dapat mempengaruhi siswa lain dengan argumentasi yang logis.
4. Siswa dalam kelompok dapat membantu siswa lain untuk menguasai masalah-masalah dasar dan prosedur perhitungan yang perlu dalam konteks permainan, teka-teki, atau pembahasan masalah-masalah yang bermanfaat.
5. Ruang lingkup matematika dipenuhi oleh ide-ide menarik dan menentang yang bermanfaat bila didiskusikan.
6. Matematika memberikan kesempatan untuk berpikir kreatif, matematika menjelajahi situasi yang tidak terbatas, untuk melakukan konjektur dan mengujinya dengan data, untuk mengajukan masalah-masalah yang membangkitkan minat, dan untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak rutin, Siswa dalam kelompok sering dapat menangani situasi yang menantang yang melebihi kemampuan individu pada tingkat perkembangan tertentu.
D. Bentuk Belajar Kooperatif
Belajar kooperatif dapat berbeda dalam banyak cara, tetapi dapat dikategorikan sesuai dengan sifat: (1) tujuan kelompok, (2) tanggung jawab individual, (3) kesempatan yang sama untuk sukses, (4) kompetisi kelompok, (5) spesialisasi tugas, dan (6) adaptasi untuk kebutuhan individu (Slavin, 1995). Terdapat berbagai bentuk belajar kooperatif di antaranya adalah STAD, Jigsaw II dan Investigasi Kelompok (Eggen & Kauchak, 1996).  
a. Students Teams Achievement Divisions (STAD)
            STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan koleganya di Universitas John Hopkin (Ibrahim dkk,. 2000; Ratumanan, 2002). Dalam STAD, siswa dibentuk dalam kelompok belajar yang terdiri dari 4 atau 5 orang dari berbagai kemampuan, gender dan etnis. Dalam praktiknya, guru menyajikan pelajaran dan kemudian siswa bekerja dalam kelompok  untuk memastikan bahwa semua anggota kelompok telah menguasai materi. Selanjutnya, siswa menghadapi tes individual. STAD mempunyai 5 komponen, yaitu (1) presentasi kelas, (2) kelompok, (3) kuis atau tes, (4) skor individual, dan (5) penghargaan kelompok (Slavin, 1995).
b. Jigsaw II
            Jigsaw dikembangkan pertama kali oleh Elliot Aronson dan koleganya di Universitas Texas (Ibrahim dkk., 2000; Ratumanan, 2002). Dalam belajar kooperatif bentuk jigsaw II, siswa bekerja dalam kelompok seperti pada STAD. Siswa diberi materi untuk dipelajari. Masing-masing anggota kelompok secara acak ditugaskan untuk menjadi “ahli (expert)” pada suatu aspek tertentu dari materi. Setelah membaca materi, “ahli” dari kelompok berbeda berkumpul untuk mendiskusikan topik mereka dan kemudian kembali ke kelompok semula untuk mengajarkan topik yang mereka kuasai kepada teman sekelompoknya. Terakhir diberikan tes atau assesmen yang lain pada semua topik yang diberikan.
c. Investigasi Kelompok
            Investigasi Kelompok dikembangkan oleh Shlomo & Yael Sharon di Univesitas Tel Aviv (Slavin, 1995). Investigasi Kelompok adalah strategi belajar kooperatif yang menempatkan siswa ke dalam kelompok untuk melakukan investigasi terhadap suatu topik.
            Perencanaan untuk melakukan bentuk Investigasi Kelompok sama seperti pada bentuk belajar kooperatif yang lain. Perencanaan Investigasi Kelompok melibatkan lima tahap, yaitu (1) menentukan tujuan, (2) merencanakan pengumpulan informasi, (3) membentuk kelompok, (4) mendesain aktivitas kelompok, dan (5) merencanakan aktivitas kelompok secara keseluruhan. Tahap-tahap ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
            Seperti pada perencanaan, implementasi aktivitas meliputi lima tahap yaitu (1) pengorganisasian kelompok dan identifikasi topik, (2) perencanaan kelompok, (3) pelaksanaan investigasi, (4) penganalisisan hasil dan mempersiapkan laporan, dan (5) penyajian laporan.
            Masih banyak lagi bentuk belajar kooperatif lainnya, misalnya Team Assisted Instruction (TAI), Team Game Tournament (TGT), dan Think Pair Share (TPS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar