Sugeng Rawuh

Selamat datang di sarana belajar yang ala kadarnya ini. semoga bisa menjadi media pembelajaran kita untuk terus belajar dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran dan pendidikan matematika.
knowledge is a power
information is liberating
education is the premise of progress, in every society, in every family

Selasa, 01 September 2009

Pendekatan Pembelajaran Problem Posing

Problem posing merupakan istilah Bahasa Inggris, dalam Bahasa Indonesia adalah pembentukan masalah. Pembentukan soal atau pembentukan masalah mencakup dua macam kegiatan, yaitu:
1. Pembentukan soal baru atau pembentukan soal dari situasi atau dari pengalaman siswa
2. Pembentukan soal dari soal lain yang sudah ada.
Langkah-langkah pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing menurut Budiasih dan Kartini dalam Budi Hartati adalah sebagai berikut:
1. Membuka kegiatan pembelajaran
2. Menyampaikan tujuan pembelajaran
3. Menjelaskan materi pelajaran
4. Memberikan contoh soal
5. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-hal yang belum jelas
6. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membentuk soal dan menyelesaikannya
7. Mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan
8. Membuat rangkuman berdasarkan kesimpulan yang dibuat siswa
9. Menutup kegiatan pembelajaran
Menurut Srini M. Iskandar dalam makalahnya yang dinukil oleh Budi Hartati, batasan mengenai pembentukan soal adalah sebagai berikut:
1. Perumusan ulang soal yang sudah ada dengan perubahan agar menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit
2. Perumusan atau pembentukan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka mencari alternatif pemecahan yang lain
3. Perumusan atau pembentukan soal dari kondisi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika, atau sesudah penyelesaian soal.
Adapun kondisi dalam pembentukan soal, menurut Srini M. Iskandar dalam Budi Hartati dibagi menjadi tiga golongan yakni:
1. Kondisi bebas, yakni jika kondisi tersebut memberi kebebasan sepenuhnya kepada siswa untuk membentuk soal, karena siswa tidak diberi kondisi yang harus dipenuhi
2. Kondisi semi terstruktur, yakni jika siswa diberi suatu kondisi dengan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya
3. Kondisi terstruktur, adalah jika kondisi yang digunakan berupa soal atau penyelesaian soal.
Menurut Terry Dash dalam Budi Hartati, penyusunan soal-soal baru dapat digali dari soal yang sudah ada. Artinya, soal yang sudah ada dapat menjadi bibit untuik soal baru dengan mengubah, menambah, atau mengganti satu atau lebih karakteristik soal yang terdahulu. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Change the numbers
Salah satu cara membuat soal dari soal yang sudah ada adalah dengan mengubah bilangan.
3. Change the operations
Cara lain membuat soal dari soal yang sudah tersedia adalah dengan mengubah operasi hitungnya.
Kemampuan siswa dalam membentuk soal dapat dikembangkan dengan cara guru memberikan beberapa contoh seperti berikut:
1. Membentuk soal dari soal yang sudah ada atau memperluas soal yang sudah ada
2. Menyusun soal dari suatu situasi, atau berdasarkan gambar di majalah atau surat kabar, atau membuat soal mengenai benda-benda konkret yang dapat dimanipulasi (dikutak-kutik)
3. Memberikan soal terbuka
4. Menyusun sejumlah soal yang mirip tetapi dengan taraf kesilitan yang bervariasi.
Kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan soal, secara teknis yang dapat dilakukan adalah:
1. Siswa menyusun soal secara individu. Dalam penyusunan soal ini, hendaknya siswa tidak asal menyusun soal, akan tetapi juga mempersiapkan jawaban dari soal yang sedang disusunnya. Dengan kata lain, setelah siswa tersebut dapat membuat soal, maka dia juga dapat menyelesaikan soal tersebut.
2. Siswa menyusun soal. Soal yang telah tersusun tersebut kemudian diberikan kepada teman sekelasnya. Distribusi soal-soal yang telah tersusun tersebut dapat menggunakan cara penggeseran atau dengan cara bertukar dengan teman semeja. Artinya, distribusi soal tersebut secara individu.
3. Agar lebih bervariasi dan lebih menumbuhkan sikap aktif, interaktif, dan kretaif, maka dapat dibentuk kelompok-kelompok kecil untuk menyusun soal dan soal tersebut didistribusikan kepada kelompok lain untuk diselesaikan. Soal dari kelompok tersebut, diharapkan tingkat kesulitannya lebih tinggi dari soal yang disusun secara individu.
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing tidak dapat dilepaskan dari kegiatan memecahkan masalah/soal, karena memecahkan masalah adalah salah satu unsur utama dalam pembelajaran matematika. Dalam problem posing, siswa diberi kegiatan untuk membuat/membentuk soal kemudian menyelesaikan/memecahkan soal tersebut sesuai dengan konsep atau materi yang telah dipelajari.
Persoalan yang harus dipecahkan oleh siswa datang siswa itu sendiri atau siswa yang lain dalam Pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing. Jika menggunakan variasi lain, misal dengan dibuat kelompok-kelompok, maka soal-soal dapat berasal dari kelompok yang lain. Pemecahan masalah memacu fungsi otak anak, mengembangkan daya pikir secara kreatif untuk mengenali masalah, dan mencari alternatif pemecahannya.
Proses pemecahan masalah terletak pada diri pelajar, variabel dari luar hanya merupakan intruksi verbal yang bersifat membantu atau membimbing pelajar untuk memecahkan masalah. Memecahkan masalah dapat dipandang sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi-kombinasi aturan yang telah dipelajarinya lebih dahulu kemudian menggunakannya untuk memecahkan masalah. Namun memecahkan masalah tidak hanya menerapkan aturan-aturan yang telah diketahui tetapi juga memperoleh pengetahuan baru.
Pendekatan problem posing ternyata sesuai dengan salah satu teori tentang berpikir matematis. Berpikir matematis terdiri atas beberapa komponen, yaitu:
1. Memahami masalah atau perkara (segala sesuatu yang dikerjakan dalam pelajaran matematika harus bermakna bagimu)
2. Berusaha keluar dari kemacetan yang ada (bilamana kamu mengalami kemacetan, kamu harus dapat menggunakan apa yang telah kamu ketahui untuk keluar dari kemacetan)
3. Menemukan kekeliruan yang ada (kamu harus dapat menemukan kekeliruan yang ada dalam jawaban soal, dalam langkah yang kamu gunakan, dan dalam berpikir)
4. Meminimumkan pembilangan (jika kamu melakukan hitungan, kamu harus sedikit mungkin menggunakan pembilangan)
5. Meminimumkan tulis-menulis dalam perhitungan
6. Gigih dalam mencari strategi pemecahan masalah (jika kamu menggunakan suatu strategi pemecahan masalah tidak menghasilkan jawaban, kamu harus mencari strategi lain. Jangan mudah putus asa)
7. Membentuk soal atau masalah (kamu harus mampu memperluas masalah dengan membentuk pertanyaan-pertanyaan atau soal-soal).
Pembelajaran matematika melalui problem posing diharapkan merupakan pendekatan yang efektif, karena kegiatan tersebut sesuai dengan pola pikir matematis, dalam arti:
1. Pengembangan matematika sering terjadi dari kegiatan membentuk soal,
2. Membentuk soal merupakan salah satu tahap dalam berpikir matematis.
Pembelajaran matematika menggunakan pendekatan problem posing jika diperhatikan juga sesuai dengan pendepat Mel Silberman yang telah dikemukakan di atas. Semua potensi siswa (pendengaran, penglihatan, dan pemikiran/jalan berpikir) dilibatkan dalam pembelajaran menggunakan pendekatan ini, sehingga siswa diharapkan akan menguasai ilmu yang diserapnya.

Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM)

Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungannya. Dari pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan suatu hasil atau tujuan. Sedangkan pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa. Seorang siswa dinilai telah berhasil dalam proses pembelajaran jika setelah selesai mengikuti proses pembelajaran di kelas, ia yang asalnya tidak tahu kemudian menjadi tahu serta dapat menggunakan konsep, teorema, maupun ketrampilan. Konteks penguasaan dan penggunaan di sini adalah bidang studi matematika.
Pembelajaran juga diartikan suatu proses untuk membuat orang belajar atau aktifitas guru untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan proses belajar siswa berlangsung optimal, dapat dikatakan bahwa pembelajaran adalah aktifitas yang disengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan demi tercapainya tujuan mental. Menurut Cagne dan Biggs dalam Tengku Zahara Djafaar, pembelajaran adalah rangkaian peristiwa atau kejadian yang mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga proses belajarnya dapat berlangsung mudah. Sebagai bagian dari sistem, sasaran pembelajaran adalah mengubah masukan yang berupa siswa yang belum terdidik menjadi siswa yang terdidik.
Pembelajaran matematika sebagai suatu proses mengkondisikan siswa dalam belajar matematika membutuhkan suatu desain pembelajaran yang dapat mengoptimalkan siswa dalam belajar matematika. Pentingnya belajar matematika tidak lepas dari peran matematika dalam segala jenis dimensi kehidupan, misalnya dalam kehidupan ini yang memerlukan logika untuk sebuah jalan pemikiran tidak terlepas dari matematika yakni silogisme dan pokok bahasan yang lain. Selain hal tersebut, banyak persoalan kehidupan yang memerlukan kemampuan menghitung dan mengukur. Hal itu menunjukan pentingnya fungsi matematika, terutama sebagai sarana memecahkan masalah.
Pembelajaran aktif adalah pembelajaran dengan siswa yang lebih berpartisipasi aktif sedemikian sehingga kegiatan siswa dalam belajar jauh lebih dominan dari pada guru dalam mengajar. Proses pembelajaran aktif ini menuntut peserta didik mengalami keterlibatan intelektual-emosional, disamping keterlibatan fisiknya.. Keaktifan tersebut dapat berbentuk pemusatan perhatian apa yang dijelaskan oleh guru yang disertai penerapan dalam bentuk penyelesaian soal-soal.
Mel Silberman mengemukakan pernyataan yang disebut paham belajar aktif hasil modifikasi dari pernyataan Conficius. Pernyataan tersebut adalah: “What I hear, I forget; What I hear and see, I remember a little; What I hear, see, and ask question about or discuss with someone else, I begin to understand; What I hear, see, discuss, and do, I acquire knowledge and skill; What I teach to another, I master (Apa yang saya dengar, saya lupa; Apa yang saya dengar dan lihat, saya ingat sedikit; Apa yang saya dengar, lihat, dan tanyakan atau diskusikan dengan beberapa teman, saya mulai paham; Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan, dan lakukan, saya memperoleh pengetahuan dan keterampilan; Apa yang saya ajarkan pada orang lain, saya menguasainya).
Piaget dan Glaserveld dalam Winarno menuturkan bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari otak guru ke otak siswa. Pengetahuan dapat diperoleh dengan adanya upaya siswa sendiri untuk mengorganisasikan pengalaman barunya dengan pengetahuan yang sudah ada dalam kerangka kognitifnya. Piagiet, Bruner, dan Vigotsky menjelaskan lebih lanjut bahwa agar terjadi proses belajar pada siswa maka siswa harus melakukan kegiatan fisik dengan benda konkret sambil melakukan kegiatan mental dalam kelompok-kelompok. Kegiatan ini misalnya mengerjakan soal dengan menggunakan kertas dan pensil, membuat soal yang relevan dengan pelajaran yang sedang diterima/diajarkan, melakukan permainan matematika/rekreasi metematika, melaksanakan tugas dalam kelompok dan lain sebagainya.
Proses pembelajaran harus dimulai dari pengetahuan yang sudah ada dalam pikiran siswa atau yang mudah ditangkap dan dimengerti oleh siswa. Hal ini sesui dengan karakteristik mata pelajaran matematika yakni:
1. Materi matematika disusun menurut urutan tertentu atau tiap topik matematika berdasarkan subtopik tertentu,
2. Seorang siswa dapat memahami suatu topik matematika jika ia telah memahami subtopik pendukung atau prasyaratnya,
3. Perbedaan kemampuan antar siswa dalam mempelajari atau memahami suatu topik matematika dan dalam menyelesaikan masalahnya ditentukan oleh perbedaan penguasaan subtopik prasyaratnya,
4. Penguasaan topik baru oleh seorang siswa tergantung pada penguasaan topik sebelumnya. Bahan pelajaran hendaknya disajikan sedikit demi sedikit seraya memberikan kesempatan kepada siswa untuk meamahami, mencoba, bertanya, maupun berdiskusi. Penyajian bahan harus dimulai dari mudah ke sukar, sederhana ke rumit, konkret ke abstrak, yang diketahui ke yang belum diketahui, khusus ke umum, dan yang diamati ke penalaran.
Mc. Keachie yang dikutip oleh Winanrno mamaparkan kadar keaktifan yang mencakup tujuh hal, yaitu:
1. Partisipasi siswa dalam menetapkan tujuan kegiatan pembelajaran
2. Tekanan pada afektif dalam pembelajaran
3. Partisipasi siswa dalam pelaksanaan pembelajaran, terutama interaksi antar siswa
4. Penerimaan guru terhadap perbuatan atau kontribusi siswa yang kurang relevan bahkan salah sama sekali
5. Kekohensifan kelas sebagai kelompok
6. Kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengambil keputusan-keputusan penting dalam kehidupan sekolah
7. Jumlah waktu yang dipergunakan untuk menanggulangi masalah pribadi siswa baik yang berhubungan ataupun tidak berhubungan dengan mata pelajaran.
John Holt yang telah dikutip oleh Mel Silberman berpendapat bahwa belajar akan semakin baik jika siswa diminta untuk melakukan hal-hal berikut:
1. Mengungkapkan informasi dengan bahasa mereka sendiri
2. Memberikan contoh-contoh
3. Mengenalkan dalam berbagai samaran dan kondisi
4. Melihat hubungan antara suatu fakta atau gagasan dengan yang lain
5. Menggunakan dengan berbagai cara
6. Memperkirakan beberapa konsekuensinya
7. Mengungkapkan lawan atau sebaliknya.
Uraian di atas dapat mengklasifikasikan pembelajaran yang aktif meliputi segi siswa dan guru. Jika dipandang dari segi siswa, maka pembelajaran aktif adalah proses kegiatan yang dilakukan siswa dalam rangka belajar, sedangkan jika dipandang dari sudut guru atau fasilitator, maka pembelajaran aktif merupakan strategi belajar yang dirancang sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran yang dilaksanakan menuntut aktifitas dari siswa yang dilakukannya secara aktif. Secara umum, dalam pembelajaran aktif ini guru dituntut memantau kegiatan belajar siswa, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang, dan mempertanyakan gagasan siswa. Sedang siswa aktif dalam bertanya, mengemukakan gagasan, dan mempertanyakan gagasan orang lain dan gagasannya. Hubungan tersebut (antar siswa yang aktif, atau siswa aktif dengan guru) juga dapat dikatakan bahwa pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran interaktif yang maknanya bahwa dalam pembelajaran bukan salah satu pihak saja yang aktif dan pihak lain pasif, tetapi kesemuanya aktif dan menghasilkan kondisi yang kondusif untuk suatu pembelajaran.
Adanya teori pembelajaran aktif menggugah ide-ide menuju pembelajaran aktif tersebut. Bukan hanya siswa saja yang dituntut kreatif dan aktif dalam pembelajaran, guru pun dituntut demikian. Guru dengan kekreatifannya sedapat mungkin bisa mengembangkan kegiatan yang beragam untuk menghindari siswa jenuh. Usaha tersebut misal dengan diskusi, tanya jawab, pemberian tugas, demonstrasi, dan lain sebagainya yang dapat menumbuhkan interaksi dinamis antara siswa-siswa, siswa-guru, siswa-lingkungan belajar (bahan, alat, dan sebagainya). Demikian pula dengan alat bantu, guru dapat membuat alat bantu belajar yang sederhana dengan pertimbangan penggunaan alat bantu tersebut mendorong keaktifan siswa dan akan membantu siswa dalam memahami suatu konsep yang diajarkan. Guru juga dituntut untuk mengembangkan media yang digunakan, misalnya dengan lembar kerja siswa (LKS), multi media, dan lain sebagainya.
Pembelajaran yang efektif adalah apabila hasil belajar yang diperoleh siswa maksimal. Untuk mengukur kemaksimalan faktor-faktor pembelajaran dimaksud, Suharsimi Arikunto memberikan instrumen yang harus dijawab, yakni sebagai berikut:
1. Apakah selama belajar siswa sudah benar-benar aktif mengolah ilmu yang diperoleh?
2. Apakah guru sudah dengan tepat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengolah sendiri ilmu yang diperoleh siswa?
3. Apakah sarana belajar sudah digunakan secara maksimal untuk membantu proses pembelajaran?
4. Apakah biaya, waktu, dan tenaga yang digunakan untuk pembelajaran cukup hemat?
5. Apakah kualitas hasil yang diperoleh siswa sesudah peristiwa pembelajaran dapat dikatakan cukup tinggi?
Jika kelima jawaban pertanyaan tersebut "ya", maka pembelajaran yang dilakukan dapat dikatakan efektif dan efisien. Namun jika belum, perlu dibenahi agar pembelajaran yang dilakukan efektif.
Pendapat Rogers yang dikutip Mudjiono Dimyati mengemukakan pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, diantaranya:
1. Belajar yang optimal akan terjadi bila siswa berpartisipasi secara bertanggungjawab dalam proses belajar
2. Belajar mengalami (experiental learning) dapat terjadi bila siswa mengevaluasi dirinya sendiri. Belajar mengalami dapat memberi peluang untuk belajar kreatif, self evaluation (kritik diri). Hal ini berarti bahwa evaluasi dari instruktur bersifat sekunder
3. Belajar mengalami menuntut keterlibatan secara penuh dan sunggug-sungguh.
Kalangan peneliti berpendapat bahwa pembelajaran aktif merupakan pembelajaran yang efektif atau merupakan syarat bagi pembelajaran yang efektif. Oleh karena itu, kebanyakan penelitian belakangan tentang pembelajaran efektif untuk matematika berpusat pada pengajaran yang meningkatkan keaktifan siswa. Jadi pada prinsipnya, agar pembelajaran yang dilakukan efektif, pembelajaran perlu dilakukan tanpa atau dengan sedikit saja waktu yang digunakan untuk ceramah. Sebagaian besar waktu pembelajaran digunakan untuk kegiatan intelektual dan emosional siswa, untuk pemantauan kesiapan siswa, dan untuk memeriksa pamahaman siswa.
Kanold mengemukakan resep pembelajaran yang efektif meliputi perencanaan, penyajian, dan cara mengakhiri pertemuan.
1. Perencanaan
a. Memulai pertemuan dengan tinjauan singkat atau masalah yang membuka selera
b. Memulai pelajaran dengan pemberitahuan tujuan dan alasan secara singkat
c. Menyajikan bahan pelajaran baru sedikit demi sedikit dan di antara bagian-bagian penyajian yang sedikit itu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami, mencoba, bertanya, diskusi, dan lain sebagainya
d. Memberikan petunjuk yang rinci untuk setiap tugas bagi siswa
e. Memeriksa pemahaman siswa dengan jalan mengajukan banyak pertanyaan dan memberikan latihan yang cukup banyak
f. Membolehkan siswa bekerja sama sampai tingkat siswa dapat mengerjakan tugas secara mandiri.
2. Penyajian
a. Pemeriksaan pemahaman siswa dilakukan dengan pemberian tugas kepada siswa. Guru memberikan penjelasan pembuka jalan, kemudian siswa menyelesaikan tugas itu. Guru berkeliling memeriksa hasil pembelajaran dan memberi bantuan jika ada siswa yang kesulitan. Siswa membuat ringkasan proses atau langkah-langkah penyelesaian tersebut
b. Pertanyaan menggunakan teknik bertanya yang efektif
c. Pada pembelajaran tentang konsep atau prosedur, siswa mengerjakan latihan terbimbing. Guru membimbing dengan menugasi siswa bekerja berkelompok kecil atau berpasangan untuk merumuskan jawaban atas latihan itu, menyelidiki pola yang mungkin ada, dan menyusun strategi yang diperlukan dalam mengerjakan latihan itu.
3. Penutup Pertemuan
Pertemuan ditutup tepat waktu
a. Jika sisa waktu tinggal sedikit, digunakan untuk membuat ringkasan dari pelajaran yang baru saja selesai
b. Jika sisa waktu agak banyak, digunakan untuk membicarakan langkah awal dari penyelesaian tugas rumah (PR).
Muara dari pembelajaran aktif, kreatif, dan efektif tersebut diharapkan dapat menghadirkan suasana pembelajaran matematika yang menyenangkan, terutama bagi siswa. Dengan demikian, siswa akan lebih mudah menangkap pelajaran karena suasana dalam diri maupun di luar dirinya mendukung. Pembelajaran menyenangkan adalah pembelajaran yang membuat siswa nyaman, aman, dan tenang hatinya tidak ada ketakutan (dicemooh, dilecehkan) dalam mengaktualisasikan kemampuan dirinya.
Pembelajaran yang menyenangkan ini dapat ditinjau dari dua segi, yakni segi siswa dan segi guru.
1. Segi Siswa
1. Siswa berani mencoba dan berbuat
2. Siswa berani bertanya
3. Siswa berani mengemukakan pendapat
4. Siswa berani mempertanyakan gagasan orang lain.
2. Segi Guru
Tidak membuat siswa takut salah, takut ditertawakan, dan takut disepelekan.

Pendekatan Matematika Realistik

Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) diketahui sebagai pendekatan yang telah berhasil di Nederlands. Ada suatu hasil yang menjanjikan dari penelitian kuantitatif dan kualitatif yang telah ditunjukkan bahwa siswa yang telah memperoleh pembelajaran dengan pendekatan RME mempunyai skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan tradisional dalam hal ketrampilan berhitung, lebih khusus lagi dalam hal aplikasi. Erman Suherman yang mengutip dari Freudenthal, Gravemaijer, dan Streefland menegaskan bahwa gagasan pendekatan pembelajaran matematika dengan realistic ini tidak hanya popular di negeri Belanda saja, melainkan banyak mempengaruhi kerja para pendidik matematika di banyak bagian di dunia.
RME/PMR (Realistic Mathematic Education/ Pendidikan Matematika Realistik) dikembangkan oleh Hans Freudental dari Belanda. Gagasan RME muncul sebagai jawaban terhadap adanya gerakan 'matematika modern' di Amerika Serikat (dan pengikutnya) dan adanya praktik pembelajaran matematika secara mekanistik di Belanda. Menurut Freudental, matematika harus dikaitkan dengan realitas kehidupan, dekat dengan alam pikiran siswa dan relevan dengan masyarakat agar mempunyai nilai manusiawi. Matematika haruslah tidak dipandang sebagai materi pelajaran yang harus disampaikan kepada siswa atau orang lain tetapi hendaklah dipandang sebagai kegiatan manusia, sehingga pendidikan matematika haruslah dipandang sebagai kegiatan yang disebut proses matematisasi.
Kuiper & Knuver yang dikutip oleh Erman Suherman mengemukakan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan realistik sekurang-kurangnya dapat membuat:
· Matematika lebih menarik, relevan, dan bermakna, tidak terlalu formal dan tidak terlalu abstrak.
· Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa.
· Menekankan belajar matematika pada ’learning by doing’.
· Memfasilitasi penyelesain masalah matematika dengan tanpa menggunakan penyelesaian (algoritma) yang baku.
· Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika.
Proses matematisasi dirumuskan sebagai matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal adalah pemunculan atau pemajuan 'alat matematis' atau 'model matematis' oleh siswa dari usahanya memecahkan masalah yang terkandung dalam situasi kehidupan nyata. Matematisasi vertikal adalah proses mengorganisasi ulang 'alat matematis' atau 'model matematis' yang telah muncul atau diajukan oleh siswa pada proses matematisasi horizontal ke dalam sistem matematik, seperti penemuan jalan pintas penyelesaian soal, penemuan hubungan antara konsep-konsep matematis atau antara strategi-strategi penyelesaian soal,dan penerapan dari penemuan itu.
Pembelajaran Matematika Realistik didasarkan pada lima asas, yaitu:
a) Belajar matematika adalah kegiatan yang unsur utama dan pertamanya adalah kegiatan konstruktif seperti yang didefinisikan dalam teori pembelajaran konstruktivistik (konsep konstruktif dalam paham konstruktivistik).
b) Belajar konsep atau ketrampilan matematis merupakan proses. Proses itu sering mempunyai rentang waktu yang panjang (lama) dan bergerak dalam berbagai tempat abstraksi.
c) Belajar matematika, khususnya peningkatan taraf proses belajar dapat terlaksana melalui refleksi, yaitu dengan memikirkan proses belajarnya sendiri atau lanjutan dari proses itu.
d) Belajar bukan hanya kegiatan "solo", melainkan juga merupakan suatu proses yang terjadi di masyarakat (kelompok) dan diarahkan serta dirangsang oleh konteks sosial.
e) Belajar matematika tidak terdiri atas penyerapan sekelompok pengetahuan yang tanpa kait-mengait dan unsur-unsur ketrampilan tetapi merupakan konstruksi pengetahuan dan ketrampilan menjadi kesatuan yang terstruktur.

Dalam filosofi realistic, kepada siswa diberikan tugas-tugas yang mendekati kenyataan, yaitu yang dari dalam siswa akan memperluas dunia kehidupannya. Kemajuan individu maupun kelompok dalam proses belajar – seberapa jauh dan seberapa cepat- akan menentukan spektrum perbedaan dari hasil belajar dan posisi individu tersebut.
Matematika realistik yang dimaksud di sini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan lingkungan siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah yang nyata atau yang telah dikuasai atau dapat dibayangkan dengan baik oleh siswa digunakan sebagai sumber munculnya konsep atau pengertian-pengertian matematika yang semakin meningkat keabstrakannya. Pembelajaran tidak mulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat dan selanjutnya diikuti dengan contoh-contoh. Namun sifat, definisi, teorema itu diharapkan "seolah-olah ditemukan kembali" oleh siswa.
Dalam kerangka Realistic Mathematics Education,Freudenthal (1991) menyatakan bahwa “Mathematics is human activity”, karenanya pembelajaran matematika disarankan berangkat dari aktivitas manusia.
Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik mengacu pada paham kontruktivisme. Kontruktivisme merupakan suatu teori atau faham yang menyatakan bahwa setiap pengetahuan atau kemampuan hanya bisa dikuasi (dipahami secara sungguh-sungguh) oleh seseorang apabila orang itu secara aktif mengkonstruksi/membentuk pengetahuan atau kemampuan itu di dalam pikirnya.
Kegiatan belajar menurut paham ini adalah kegiatan yang aktif. Siswa membangun sendiri pengetahuan, siswa memberi makna sendiri dari apa yang dipelajari. Proses mencari ini adalah proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran siswa. Siswa sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Mereka membawa pengertiannya yang lama ke dalam situasi belajar yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkan dengan apa yang telah siswa ketahui serta menyelesaikan ketegangan antara apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman baru.
Kontruktivisme beranggapan bahwa mengajar bukan merupakan kegiatan memindahkan atau mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Peran guru dalam mengajar lebih sebagai mediator dan fasilitator. Guru memfasilitasi agar proses pembentukan (kontruksi) pengetahuan pada diri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal. Sebagai contoh, jika seorang siswa membuat kesalahan dalam mengerjakan sebuah soal. Sebaiknya guru tidak langsung memberitahukan dimana letak kesalahannya. Diharapkan guru mengajukan beberapa pertanyaan untuk menuntun siswa sehingga pada akhirnya siswa menemukan sendiri letak kesalahan tersebut. Agar proses kontruksi pengetahuan dalam pikiran siswa bisa berlangsung secara optimal, guru bisa membantu siswa dengan cara memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai.
Menurut Suharto Hadi yang telah dikutip oleh El Metta Sari, dalam Pembelajaran Matematika Realistik terdapat beberapa konsepsi. Konsepsi tersebut adalah:
1. Konsepsi Pembelajaran Matematika Realistik tentang siswa
a. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
b. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.
c. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.
d. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pegalaman.
e. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.
2. Konsepsi Pembelajaran Matematika Realistik tentang guru:
a. Guru hanya sebagai fasilitator belajar.
b. Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif.
c. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya atau dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil.
d. Guru tidak terpancing pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif dalam mengartikan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.
3. Konsepsi Pembelajaran Matematika Realistik pengajaran:
Pengajaran matematika dalam pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik meliputi aspek-aspek berikut:
a. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang "riil" bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna.
b. Permasalah yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut.
c. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbol secara informal terhadap persoalan atau masalah yang diajukan.
d. Pengajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap pelajaran.

Beberapa ciri khas yang menonjol dari Pendekatan Matematika Realistik adalah:
a) Penggunaan masalah atau soal-soal berkonteks kehidupan nyata (kontekstual) yang konkret atau yang ada dalam pikiran alam siswa sebagai titik awal proses pembelajaran. Masalah-masalah itu dapat disajikan dalam bahasa biasa atau cerita, bahasa lambang, benda konkret atau model (gambar, grafik, tabel dan lain-lain). Pada pembelajaran matematika mekanistik, masalah atau soal-soal kontekstual juga kadang digunakan, namun biasanya hanya pada akhir pembelajaran sebagai contoh atau soal-soal penerapan dari materi matematika yang dipelajari. Sementara pada pembelajaran matematika realistik masalah atau soal-soal kontekstual digunakan sebagai sumber pemuncullan konsep sekaligus objek penerapan matematika. Melalui soal kontekstual yang dihadapi, siswa diharapkan menemukan alat matematis atau model matematis sekaligus pemahaman tentang konsep atau prinsip matematika.
b) Menghindari cara mekanistik yang berfokus pada prosedur penyelesaian soal. Cara mekanistik itu memecah cara pembelajaran menjadi bagian-bagian kecil yang tidak bermakna dan berisi latihan menyelesaikan soal-soal yang kecil-kecil itu. Pendekatan matematika realistik mendorong siswa untuk memunculkan atau mengajukan suatu cara berupa alat atau model matematis dari soal kontekstual yang dihadapinya.
c) Siswa diperlakukan sebagai peserta aktif dalam pembelajaran, diusahakan agar siswa sendiri yang menemukan atau mengembangkan alat atau model dan pemahaman matematis melalui penemuan dengan bantuan guru, diskusi dengan teman, maupun menemukan sendiri.
d) Ada keseimbangan antara proses matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal artinya pembelajaran tidak cepat bergerak menuju materi yang lebih abstrak. Menghargai jawaban informal siswa sebelum sampai pada tahap mempelajari bentuk formal matematika (proses matematisasi vertikal), sehingga ada kesempatan merefleksi, menginterprestasi dan menginternalisasi hal yang dipelajari.
e) Pembelajaran matematika tidak semata-mata memberi penekanan pada komputasi dan hanya mementingkan langkah-langkah prosedural (driil) namun juga memberi penekanan pada pemahaman konsep dan pemecahan masalah.

Treffers dan Van den Heuvel-Panhuizen yang dikutip oleh I Gusti Putu Suharta mengemukakan bahwa karakteristik pendekatan matematika realistik adalah menggunakan konteks "dunia nyata", model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaksi serta keterkaitan (intertwinment).
a) Menggunakan konteks "dunia nyata"
konsep matematika diperoleh dengan memberi masalah dari dunia nyata (kontekstual). Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang mereka peroleh, kemudian siswa mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata.
b) Menggunakan model-model (matematisasi).
Dalam matematika realistik siswa mengembangkan model sendiri kemudian model tersebut dijadikan dasar untuk mengembangkan matematika formalnya. Ada dua macam model yang terjadi dalam proses tersebut yakni model dari situasi (model of situation) dan model untuk matematis (models for formal matematics). Model ini berperan sebagai jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.
c) Menggunakan produksi dan konstruksi
Siswa dengan arahan guru mengkonstruksi dan menghasilkan matematika dengan cara dan bahasa mereka sendiri. Kemudian dilakukan refleksi terhadap hasil aktivitas matematika siswa dalam mengkonstruksi konsep.
d) Menggunakan interaktif
Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam Pendekatan Matematika Realistik. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, dan pertanyaan.
e) Menggunakan keterkaitan (intertwinment).
Pengaitan (intertwining) antar pokok bahasan sangat penting dalam matematika realistik. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan struktur materi secara matematis. Setiap pokok bahasan tidak berdiri sendiri tetapi diintegrasikan dengan yang lain.
Harapan implementasi pembelajaran matematika berdasarkan realistik menurut Turmudi yang diadopsi oleh Erman Suherman adalah:
a. Sekurang-kurangnya telah mengubah sikap siswa menjadi lebih tertarik terhadap matematika;
b. Pada umumnya siswa menyenangi matematika dengan pendekatan pembelajaran yang diberikan dengan alasan cara belajarnya berbeda (dari biasanya), pertanyaan-pertanyaannya menantang, adanya pertanyaan-pertanyaan tambahan sehingga menambah wawasan, lebih mudah mempelajarinya karena persoalannya menyangkut kehidupan sehari-hari.
Menurut Suharta yang telah dikutip oleh Asmin mengemukakan bahwa implementasi pendekatan matematika realistik di kelas meliputi tiga fase yakni: fase pengenalan, fase eksplorasi dan fase meringkas. Pada fase pengenalan, guru memperkenalkan masalah realistik dalam matematika kepada seluruh siswa serta membantu untuk memberi pemahaman (setting) masalah. Pada fase ini sebaiknya ditinjau ulang semua konsep-konsep yang berlaku sebelumnya dan diusahakan untuk mengaitkan masalah yang dikaji saat itu ke pengalaman siswa sebelumnya. Pada fase eksplorasi, siswa dianjurkan bekerja secara individual, berpasangan atau dalam kelompok kecil. Di sini guru berupaya meyakinkan siswa dengan cara memberi pengertian sambil berjalan mengelilingi siswa, melakukan pemeriksaan terhadap pekerjaan siswa, dan memberi motivasi kepada siswa untuk giat bekerja. Dalam hal ini, peranan guru adalah memberikan bantuan seperlunya kepada siswa yang memerlukan bantuan. Pada fase meringkas, guru dapat mengawali pekerjaan lanjutan setelah siswa menunjukkan kemajuan dalam pemecahan masalah. Sebelumnya mendiskusikan pemecahan-pemecahan dengan berbagai strategi yang mereka lakukan. Peranan siswa dalam fase ini sangat penting seperti: mengajukan dugaan, pertanyaan kepada yang lain, bernegosiasi, alternatif-alternatif pemecahan masalah, memberikan alasan, memperbaiki strategi dan dugaan mereka, dan membuat keterkaitan. Sebagai hasil dari diskusi, siswa diharapkan menemukan konsep-konsep awal/utama atau pengetahuan matematika formal sesuai dengan tujuan materi. Dalam fase ini guru juga dapat membuat keputusan pengajaran yang memungkinkan semua siswa dapat mengaplikasikan konsep atau pengetahuan matematika formal.

TEORI-TEORI BELAJAR

Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar dengan baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak ‘mengalami’ apa yang dipelajarinya, bukan ‘mengetahuinya’. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi ‘mengingat’ jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan itulah yang terjadi dalam kelas-kelas saat ini, untuk itu perlu diketahui kembali akan adanya teori-teori belajar, khususnya yang relevan dalam bidang matematika.
Lebih khususnya dalam pembelajaran matematika, ada banyak tokoh dari dunia barat yang mengemukakan tentang bagaimana pembelajaran Matematika terhadap siswa, khususnya siswa SLTP. Tokoh-tokoh tersebut antara lain: Gagne yang mengemukakan teori Gagne, Bruner serta masih banyak tokoh lain yang mengemukakan teorinya.
A. TEORI GAGNE
Robert M. Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyak melakukan penelitian mengenai fase-fase belajar, tipe-tipe kegiatan belajar, dan hierarki belajar. Dalam penelitiaannya ia banyak menggunakan materi matematika sebagai medium untuk menguji penerapan teorinya. Di dalam teorinya Gagne juga mengemukakan suatu klasifikasi dari objek-objek yang dipelajari di dalam matematika.
1.Objek-objek pembelajaran Matematika
Menurut Gagne secara garis besar ada dua macam objek yang dipelajari siswa dalam matematika, yaitu objek-objek langsung dan objek-objek tak langsung. Objek-objek langsung dari pembelajaran Matematika terdiri atas:
a.Fakta-fakta matematika
Adalah konvensi-konvensi (semufakatan-semufakatan) dalam matematika yang dimaksudkan untuk memperlancar pembicaraan-pembicaraan di dalam matematika, seperti lambang-lambang yang ada dalam matematika, semufakatan bahwa pada garis bilangan yang horisontal, arah ke kanan menunjukan bilangan-bilangan yang semakin besar sedangkan kearah kiri menunjukkan bilangan-bilangan yang semakib kecil nilainya, dan sebagainya.
Di dalam matematika, fakta merupakan sesuatu yang harus diterima begitu saja karena itu sekedar merupakan semufakatan. Misalnya adalah merupakan fakta (yang haruis diterima begitu saja) bahwa lambang untuyk bilangan Empat adalah 4 (dalam sistem bilangan hindu-arab) atau ‘IV’ ( dalam sistem bilangan romawi). Juga lambang ‘-‘ adalah lambang untuk operasi pengurangan. Di dalam matematika tidak dipersoalkan hal-hal seperti itu, dan menurut Gagne fakta hanya bisa dipelajari dengan dipakai berulang-ulang dan di hafal.
b. keterampilan-keterampilan matematika
adalah operasi-operasi dan prosedur-prosedur dalam matematika yang masing-masing merupakan suatu proses untuk mencari sesuatu hasil tertentu. Contoh keterampilan matematika adalah proses mencari jumlah dua bilangan, proses mencari kelipatan persekutuan terkecil dari dua bilangan dan lain-lain.
c. Konsep-konsep matematiaka
Suatu konsep yang yang berada dalam lingkup matematika disebut konsep matematika, yaitu antara lain: segitiga, persegi panjang, persemaan, pertidaksamaan, bilangan prima, dan lain-lain.
d. Prinsip-prinsip matematika
Beberapoa contoh prinsip dalam matematika antara lain:
1). Pada setiap segitiga sama kaki, kedua sudut alas adalah sama besar.
2). Hasil kali dua bilangan p dan q adalah nol jika dan hanya jika p=0 atau q=0.
3). Pada setiap seggitiga siku-siku, kuadrat panjang sisi miring sama dengan jumlah kuadrat kedua sisi siku-siku.
2. Fase-fase kegiatan belajar
Menurut Gagne setiap kegiatan belajar terdiri atas empat fase yang terjadi secara berurutan, yaitu
a. Fase Aprehensi. Pada fase ini siswa menyadari adanya stimulus yang terkait dengan kegiatan belajar tang akan ia lakukan. Dalam pelajaran matematika, stimulus tersebut bisa berupa materi pelajaran yang tercetak pada halaman sebuah buku, sebuah sola yang diberikan oleh guru sebagai pekerjaan rumah, atau juga bisa seperangkat alat peraga yang berguna untuk pemahaman konsep-konsep tertentu.
b. Fase Akuisisi. Pada fase ini siswa melakukan akuisisi atau penyerapan terhadap berbagai fakta, keterampilan, konsep, atau prinsip ytang menjadi sasaran dari kegiatan belajar tersebut.
c. Fase Penyimpanan. Pada fase iniu siswa menyimpan hasil-hasil kegiatan belajar dalam ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang.
d. Fase Pemanggilan. Pada fase ini siswa berusaha memanggil kembali hasil-hasil dari kegiatan belajar yang telah ia peroleh dan ia simpan dalam ingatan, baik itu yang menyangkut fakta, keterampilan, konsep, maupun prinsip.
3. Jenis-jenis belajar
jenis-jenis belajar terdiri atas:
a.Belajar isyarat, adalah kegiatan belajar yang terjadi secara tidak disadari, sebagai akibat adanya suatu stimulus tertentu. Sebagai contoh, jika seorang siswa mendapatkan komentar bernada positif dari guru matematika, maka secara tidak langsung siswa itu akan cenderung menyukai pelajaran matematika. Dan sebaliknya.
b.Belajar stimulus respon, adalah kegiatan belajar yang terjadi secara disadari, yang berupa dolakukannya suatu kegiatan fisik sebagai suatu reaksi atas adanya suatu stimulus tertentu.
c.Rangkaian gerakan, merupakan kegiatan yang terdiri atas dua gerakan fisik atau lebih yang dirangkai menjadi satu secara berurutan, dalam upaya untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu.
d.Rangkaian verbal, merupakan kegiatan merangkai kata-kata atau kalimat-kalimat secara bermakna. Misalnya kegiatan mendeskripsikan sifat-sifat suatu bangun geometri, kegiatan menyebutkan nama benda-benda tertentu, dan sebagainya.
e.Belajar membedakan, merupakan kegiatan mengamati perbedaan antara sesuatu objek yang satu dengan sesuatu objek yang lain, misalnya membedakan lambang ‘3’ dengan lambang ‘8’, membedakan bilangan bulat dengan bilangan prima, dan sebagainya.
f.Belajar konsep, merupakan kegiatan mengenali sifat yang sama yang terdapat pada berbagai objek atau peristiwa, dan kemudian memperlakukan objek-objek atau peristiwa itu sebagai suatu kelas, disebabkan oleh adanya sifat yang sama tersebut.
g.Belajar aturan. Contoh aturan dalam matematika antara lain: Untuk sembarang dua bilangan real a dan b berlaku a x b = b x a, dan masih banyak aturan lain dalam matematika.
h.Pemecahan masalah, merupakan kegiatan belajar yang palng kompleks. Untuk dapat memecahkan suatu masalah, seseorang memerlukan pengetahuan-pengetahuan dan kemampuan-kemampuan yang ada kaitannya dengan masalah tersebut. Pengetahuan dan kemampuan tersebut harus diramu dan diolah secara kreatif dalam ranghka memecahkan masalah yang bersangkutan

B. TEORI BRUNER
Berdasarkan hasil eksperimen dan observasi yang dilakukan oleh bruner dan kenney, pada tahun 1963 kedua pakar tersebut mengemukakan empat prinsip tentang cara belajar dan mengajar matematika yang masing-masing mereka sebut sebagai teorema. Keempat teorema tersebut yaitu:
1. Teorema Konstruksi
Didalam teorema ini dikataklan bahwa cara yang terbaik bagi seotang siswa untuk mempelajari suatu konsep atau suatu prinsip dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi sebuah representasi dari konsep atau prinsip tersebut. Siswa-siswa yang lebih dewasa mungkin bisa memahami suatu konsep atau suatu prinsip dalam matrematika hanya dengan menganalisisa sebuah representasi yang disajikan oleh guru mereka; akan tetapi untuk kebanyakan siswa khususnya untuk siswa yang lebih muda, proses belajar akan lebih baik jika para siswa mengkonstruksi sendiri representasi dari apa yang dipelajari tersebut, sehingga mereka akan lebih mudah menemukan sendiri konsep atau prinsip yang terkandung dalam representasi tersebut, sehingga untuk selanjutnya mereka juga mudah untuk untuk mengingat hal-hal tersebut dan dapat mengaplikasikannya dalam situasi-situasi yang yang sesuai.

2. Teorema Notasi
Menurut apa yang dikatakan dalam teorema notasi representasi dari suatu materi matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila didalam representasi itu digunakan notasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Sebagai contoh, untuk siswa sekolah dasar, soal yang berbunyi: ‘ tentukanlah sebuah bilangan yang jika ditambah tiga akan menjadi delapan’, akan lebih sesuai jika dipresentasikan dalam bentuk: ……+ 3 = 8, Sedangkan untuk siswa SLTP yang tingkat perkembangannya sudah lebih matang, soal tersebut akan lebih sesuai jika dipresentasikan dalam bentuk: x + 3 = 8.
3. Teorema Kokantrasan dan variasi
Didalam teorema ini dikemukakan bahwa suatu konsep matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa pabila konsep itu dikontraskan dengan konsep-konsep yang lain sehingga perbedaan antara konsep itu dengan konsep-konsep yang lain menjadi jelas; serta pemahaman siswa tentang suatu konsep matematika juga akan lebih jelas apabila konsep itu dijelaskan dengan menggunakan berbagai contoh yang bervariasi (contoh-contoh yang berbeda tetapi semuanya menunjukan konsep yang sama). Sebagai contoh adalah dalam pembelajaran konsep pertsegi panjangnm persegi poanjang sebaiknya ditampilkan dengan berbagai contoh yang bervariasi, misalnya ada persegi panjang yang posisinya bervariasi (ada yang dua sisinya yang berhadapan terletak horisontal dan dua sisi yang lain verttikal, ada yang posisinya miring, dan sebagainya), ada persegi panjang yang perbedaan poanjang dan lebarnya begitu mencolok, dan lain sebagainya.
4. Teorema Konektivitas
Di dalam teorema konektivitas disebutkan bahwa setiap konsep, setiap prinsip, dan setiap keterampilan dalam matematika berhubungan dengan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan keterampilan-keterampilan yang lain.
Adanya hubungan antara konsep. Prinsip, dan keterampilan itu menyebabkan struktur dari setiap cabang matematika menjadi jelas. Adanya hubungan-hubungan itu juga membantu guru dan pihak lain dalam upaya untuk menyusun program pembelajaran bagi siswa.
Dalam pembelajaran matematika, tugas guru bukan hanya membantu siswa dalam memahamio konsep dsan prinsip serta memiliki keterampilan tertentu, tetapi juga membantu siswa dalam memahami hubungan antara konsep, prinsip, dan keterampilan tersebut. Dengan memahami hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain dari matematika, pemahaman siswa terhadap struktur dan isi dari matematika menjadi lebih utuh.

C. TEORI AUSUBEL
Sekalipun selama ini metode ceramah dan metode-metode ekspositoris yang lain banyak digugat karena dianggap kurang mendorong proses berpikir dan proses belajar aktif pada siswa, tidak berarti bahwa metode-metode tersebut ditinggalkan begitu saja. David B. Ausubel adalah salah satu pakar dalam pendidikan dan psikologi yang berpendapat bahwa metode ceramah (lecture method) merupakan metode pembelajaran yang sangat efektif, apabila dipakai secara tepat. Menurut Ausubel , metode-metode kspositoris (termasuk metode ceramah) akan sangat efektif dalam menghasilkan kegiatan belajar yang bermakna (meaningful learning) apabila dipenuhi dua syarat sebagai berikut:
1. Siswa memiliki meaningful leaening set, yaitu sikap mental yang mendukung terjadinya kegiatan belajar yang bermakna. Contoh: siswa betul-betul mempunyai keinginan yang kuat untuk memahami hal-hal yang akan dipelajri, dan berusaha untuk mengaitkan hal-hal baru yang dipelajri dengan hal-hal lama yang telah ia ketahui, yang kiranya relevan.
2. Materi yang akan dipelajari atau tugas yang akan dikerjakan siswa adalah materi atau tugas yang bermakna bagi siswa; artinya, materi atau tugas tersebut terkait dengan struktur kognitif yang pada saat itu telah dimiliki siswa, sehingga dengan demikian siswa bisa mengasimilisasikan pengetahuan-pengetahuan baru yang dipelajri itu kedalam struktur kognitif yang ia miliki. Dan dengan demikian, struktur kognitif siswa mengalami perkembangan.
D. PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING / CTL)
Pendekatan kontekstual (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilkinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, dan strategi prmbrlajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi infomasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Sesuatu yang baru (pengetahuan dan keterampilan) datang dari ‘menemukan sendiri’ bukan dari ‘apa kata guru’.
Ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual:
1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
2. Pemerolehan pengatahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
3. Pemahaman pengetahuan (undersatnding knowledge)
4. Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (Applying knowledge)
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama yaitu: konstruktivisme (contructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya ( authentic assessment).
E. KONSTRUKTIVISME
Konstruktivisme merupakan suatu teori atau paham yang menyatakan bahwa setiap pengetahuan atau kemampuan hanya bisa dikuasai oleh seseorang apabila orang itu aktif mengkonstruksi atau membentuk pengetahuan atau kemampuan itu di dalam pikirannya. Jika pengetahuan atau kemampuan itu tidak secara aktif dikonstruksi sendiri oleh orang yang bersangkutan, pengetahuan atau kemampuan itu tidak akan bisa dikuasai secara sungguh-sungguh. Dalam hal seperti itu, proses belajar yang sungguh-sungguh tidak terjadi, dan hasilnya adalah belajar tanpa pemahaman.
Menurut paham konstruktivisme, tugas guru atau pendidik adalah menfasilitasi agar prosea pembentukan (konstruksi) pengetahuan pada diri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal. Sebagai contoh, jika seorang siswa membuat suatu kesalahan dalam mengerjakan sebuah soal, sebaiknya guru tidak langsung memberitahukan dimana letak kesalahannya. Sebaiknya guru mengajukan beberapa pertanyaan untuk menuntun siswa supaya pada akhirnya siswa menemukan sendiri letak kesalahannya tersebut. Sebagai contoh, jika seorang siswa menyatakan bahwa untuk sembarang bilangan real a dan b berlaku (a+b) pangkat dua sama dengan a pangkat dua di tambah b pangkat dua, guru tidak perlu langsung memberitahukan bahwa itu salah, lebih baik guru memberi pertanyaan yang sifatnya menuntun, misalnya: apakah (2+3) pangkat dua sama dengan dua pangkat dua ditambah tiga pangkat dua ?.
Dengan menjawab pertanyaan ini, siswa akan dapat menemukan sendiri letak kesalahan yang ia buat pada pernyataan semula. Dari contoh ini kiranya jelas bahwa guru bisa membantu siswa dengan cara siswa dengan cara memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai, agar proses konstruksi pengetahuan dalam pikiran siswa berlangsung secara optimal. Pertanyaan yang diajukan guru tersebut, untuk menuntun siswa supaya pada akhirnya siswa bisa menemukan sendiri letak kesalahan yang ia buat, merupakan contoh scaffolding (tuntunan atau dukungan yang dinamis) dari guru pada siswa.


PENUTUP

Dari beberapa teori yang dikemukakan diatas, dapat diketahuai bahwa pada dasarnya kesemuanya memberikan tujuan agar siswa lebih merasa nyaman dan bebas dalam belajar matematika yang memang terkesan angker. Guru harus bisa berperan sebagai fasilitator (pencipta situasi belajar yang nyaman) yang memberikan bimbingan pada siswa, sehingga siswa merasa menjadi subjek pembelajaran bukan sebagai objek.

PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING DAN PEMECAHAN MASALAH (LEARNING BASED PROBLEM SOLVING AND REINVENTION)

Pembelajaran adalah suatu proses untuk membuat orang belajar atau aktifitas guru untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan proses belajar siswa berlangsung optimal. Dapat dikatakan bahwa pembelajaran adalah aktifitas yang disengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan demi tercapainya tujuan mental.1Sebagai bagian dari sistem, sasaran pembelajaran adalah mengubah masukan yang berupa siswa yang belum terdidik menjadi siswa yang terdidik. Menurut Cagne dan Biggs dalam Tengku Zahara Djafaar 2pembelajaran adalah rangkaian peristiwa atau kejadian yang mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga proses belajarnya dapat berlangsung mudah. Sebagai bagian dari sistem, sasaran pembelajaran adalah mengubah masukan yang berupa siswa yang belum terdidik menjadi siswa yang terdidik.
Matematika menurut James dan James dalam kamus Matematika yang ditulisnya, menyatakan bahwa: matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang saling berhubungan satu sama lain yang terbagi dalam tiga bidang, ialah aljabar, analisis dan geometri3. Sedangkan menurut Jhon dan Rising, matematika adalah pola pikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logik4. Pendapat lain dikemukakan oleh Elea Tinggih, bahwa Matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan cara bernalar5.
Dari pengertian diatas dapat dikatakan pembelajaran Matematika adalah suatu aktifitas yang disengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapai tujuan melalui kegiatan penalaran. Sedangkan Kolb dalam Sri Wardhani mendefinisikan pembelajaran Matematika adalah proses memperoleh pengetahuan yang diciptakan atau dilakukan oleh siswa sendiri melalui transformasi individu siswa6.
Pembelajaran matematika sebagai suatu proses dalam menciptakan lingkungan belajar agar siswa terkondisikan dalam belajar matematika dibutuhkan suatu desain pembelajaran yang mengoptimalkan siswa dalam belajar matematika. Pentingnya belajar matematika tidak lepas dari peran matematika dalam segala jenis dimensi kehidupan. Misalnya banyak persoalan kehidupan yang memerlukan kemampuan menghitung dan mengukur. Hal itu menunjukan pentingnya peran dan fungsi matematika, terutama sebagai sarana memecahkan masalah. Dalam kurikulum berbasis kompetensi mata pelajaran matematika SLTP/MTs disebutkan bahwa tujuan matematika ditekankan pada siswa untuk memiliki :
Kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah dalam pelajaran matematika dan pelajaran lain ataupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata.
Kemampuan menggunakan matematika sebagai alat komunikasi
Kemampuan menggunakan matematika sebagai cara penalaran yang dapat dialihgunakan pada setiap keadaan seperti bersifat kritis, berpikir logis, berpikir sistematis, bersifat obyektif, bersifat jujur, bersifat disiplin dalam memandang dan menyelesaikan masalah.
Agar pembelajaran matematika dapat memenuhi tuntutan inovasi pendidikan pada umumnya, Ebbut dan Straker dalam Marsigit7mendefinisikan matematika sebagai berikut :
Matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan
Matematika adalah kreatifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan.
Matematika adalah kegiatan Pemecahan masalah
Matematika merupakan alat komunikasi
Siswa akan mempelajari matematika jika mereka mempunyai inovasi
Siswa mempelajari matematika dengan caranya sendiri.
Siswa mempelajari matematika baik secara mandiri maupun melalui kerja sama dengan temannya.
Siswa memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika.
Agar proses pembelajaran Matematika dapat berlangsung secara efektif dan efisien, maka pembelajaran harus dirancang dan didesain dengan baik, diantaranya dengan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat. Strategi pembelajaran menurut Reigeluth dalam Gerardus Polla8, adalah pilihan dari cara pengorganisasian materi pelajaran serta urutan aktivitas guru, pilihan cara penyampaian materi dan cara mengorganisasikan kelas dengan mempertimbangkan faktor-faktor karakteristik bidang studi, karakteristik siswa dan kendala yang ada guna memperoleh hasil pembelajaran yang efektif dan efisien serta mempunyai daya tarik. Sedangkan strategi pembelajaran menurut Sri Wardhani adalah suatu siasat melakukan kegiatan pembelajaran yang bertujuan suatu keadaan pembelajaran kini (yang ada saat ini) menjadi keadaan yang diharapkan9.
Dari uraian diatas dapat disimpulakan bahwa untuk mencapai kondisi pembelajaran yang kondusif, efektif dan menyenangkan maka perlu diterapkannya suatu pendekatan pembelajaran yang dapat mewujudkan kondisi tersebut.
A.PENEMUAN TERBIMBING
Penemuan terbimbing dapat dipandang sebagai suatu metode pembelajaran dimana siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang difasilitasi oleh guru.10
Dengan metode ini, siswa dihadapkan kepada situasi dimana ia bebas untuk menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan. Dalam metode ini guru bertindak sebagai fasilitator yang mampu memberi bantuan yang serasi dengan kebutuhan siswa.Guru membimbing siswa agar mempergunakan idea, konsep dan keterampilan yang sudah mereka pelajari untuk menemukam pengetahuan baru.11
Penemuan terbimbing merupakan salah satu metode pembalajaran aktif sebagaimana menurut Masalski yang dikutip dari Winarno, beberapa model pembelajaran aktif adalah pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing, pembelajaran dengan menggunakan soal-soal terbuka, dan pembelajaran melalui atau menggunakan pemecahan masalah.12
Dalam pendekatan ini, guru menyajikan bahan pelajaran tidak dalam bentuk yang final. Siswalah yang diberi kesempatan untuk mencari dan menemukannya sendiri13. Secara garis besarnya sebagai berikut :
1.Stimulasi.
Guru mulai dengan bertanya atau mengatakan persoalan, atau menyuruh siswa membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan (Problematic).
2.Perumusan masalah.
Siswa diberi kesempatan mengidentifikasi berbagai permasalahan yang relevan sebanyak mungkin. Kemudian mereka harus membatasi dan memilih yang dipandang paling menarik untuk dipecahkan.
3.Pengumpulan data.
Untuk menjawab persoalan, Siswa diberi kebebasan untuk memilih dan mencari data yang sesuai dan dibutuhkan.
4.Analisis data.
Semuan informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya itu diolah (dicek, diklasifikasikan).
5.Generalisasi.
Pada tahap ini siswa denag dibimbing oleh guru mencoba untuk melakukan penarikan kesimpulan sesuai dengan yang telah ditemukan.
Landasan pemikiran yang mendasari pendekatan belajar-mengajar ini ialah hasil belajar dengan cara ini lebih mudah dihafal dan diingat, mudah ditransfer pengetahuan dan kecakapan siswa yang bersangkutan. Lebih jauh lagi dapat menumbuhkan sikap intrinsik.
Pendekatan belajar seperti ini sangat cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognitif. Kelemahannya, metode ini bagi yang belum terbiasa, membutuhkan waktu yang cukup banyak.
Secara lebih terperinci langkah-langkah dalam model penemuan terbimbing dapat diuraikan sebagai berikut :
Guru merumuskan masalah yang akan dihadapkan kepada siswa, dengan data secukupnya. Perumusan harus jelas dalam arti tidak menimbulkan salah tafsir, sehingga arah yang akan ditempuh siswa tidak salah.
Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisasikan dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini bimbingan dapat diberikan sejauh yang dibutuhkan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah kearah yang tepat. Misalnya melalui pertanyaan-pertanyaan.
Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
Bila perlu konjektur di atas diperiksa oleh guru. Ini perlu untuk meyakinkan prakiraan yang dilakukan oleh siswa.
Bila telah diperoleh kepastian konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya. Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu telah benar.
Dari urutan langkah di atas, model pembelajaran penemuan terbimbing memiliki beberapa keuntungan diantaranya adalah:
Siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.
Menanamkan sikap inkuiri.
Menopang model pembelajaran penemuan masalah
Menimbulkan interaksi antar siswa.
Melatih keterampilan dasar, sebab tanpa ini akan sulit menuju langkah selanjutnya.
Materi yang dipelajari akan mencapai tingkat kemampuan yang tinggi, dan lebih lama terkesan.
B.PEMECAHAN MASALAH
Pemecahan masalah dapat dianggap sebagai metode pembelajaran dimana siswa berlatih memecahkan persoalan. Persoalan tersebut dapat datang dari guru, suatu fenomena atau persoalan sehari-hari yang dijumpai siswa. Pemecahan masalah mengacu fungsi otak anak, mengembangkan daya pikir secara kreatif untuk mengenali masalah dan mencari alternatif pemecahannya.14
Proses pemecahan masalah terletak pada diri pelajar, variabel dari luar hanya merupakan intruksi verbal yang bersifat membantu atau membimbing pelajar untuk memecahkan masalah. Memecahkan masalah dapat dipandang sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi-kombinasi aturan yang telah dipelajarinya lebih dahulu kemudian menggunakannya untuk memecahkan masalah. Namun memecahkan masalah tidak hanya menerapkan aturan-aturan yang telah diketahui tetapi juga memperoleh pengetahuan baru.15Kondisi belajar dalam pemecahan masalah antara lain :
Kondisi dalam diri pelajar menyangkut pengalaman masa lampaunya
Kondisi dalam situasi belajar meliputi proses belajar dimana siswa cukup memberikan bimbingan secara verbal untuk mengarahkan siswa ke tujuan tertentu.
Perbedaan waktu dalam memecahkan masalah bergantung pada perbedaan individual yakni :
Banyak aturan yang diketahui
Kecepatan untuk mengingat aturan tersebut
Kreatifitas
Kemampuan siswa memahami konsep
Dalam Prosamentier16dituliskan bahwa Pemecahan masalah adalah tujuan dasar dari pendidikan matematika. Dalam proses pembelajaran dengan pendekatan masalah, terdapat 3 pendekatan yang sangat berbeda17yaitu:
Mengajar melalui Pemecahan masalah
Pendekatan ini ditegaskan pada penggunaan pemecahan masalah sebagai tujuan untuk mengajarkan isi mata pelajaran.
Mengajar tentang Pemecahan masalah
Pendekatan ini melibatkan pembelajaran langsung tentang strategi umum pendekatan masalah.
Mengajar untuk Pemecahan masalah
Pendekatan ini difokuskan pada mengajarkan strategi umum pemecahan masalah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memecahkan masalah.
Akan tetapi dalam pelaksanaan pembelajaran matematika digunakan pendekatan yang memadukan ketiga pendekatan di atas untuk memecahkan masalah yang tepat. Langkah-langkah dalam memcahkan masalah.18
Mengenali bahwa masalah itu ada
Mengidentifikasi masalah
Mengumpulkan data untuk membuat hipotesis
Menguji hipotesis
Mengevaluasi solusi dan membuat kesimpulan berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Dalam Posamentier 19 urutan yang sistematis dalam pemecahan masalah sebagai berikut:
Mengetahui masalah, langkah pertama dalam memecahkan masalah adalah mengetahui apa yang ditanyakan.
Menentukan rencana, setelah masalah diketahui kemudian menentukan bagaimana jawabannya dan mencari hubungan antara data dengan yang tidak diketahuinya.
Melaksanakan rencana, melihat prosdur dalam mencari solusi
Melihat kembali ketika jawaban atau solusi sudah ditemukan sangatlah penting untuk memeriksa jawaban tersebut.
Beberapa strategi dalam menjalankan Model pemecahan masalah :20
Pada saat memecahkan masalah, ada beberapa cara atau langkah yang sering digunakan. Cara yang sering digunakan orang dan sering berhasil pada proses pemecahan masalah inilah yang disebut dengan strategi pemecahan masalah. Setiap manusia akan menemui masalah. Karenanya, strategi ini akan sangat bermanfaat jika dipelajari para siswa agar dapat digunakan dalam kehidupan nyata mereka. Beberapa strategi yangn digunakan adalah :


Membuat diagram
Strategi ini terkait dengan pembuatan sket atau gambar corat-coret mempermudah memahami masalahnya dan mendapat gambaran umum penyelesaiannya.
Mencobakan pada soal yang lebih sederhana
Strategi ini terkait dengan penggunaan contoh khusus tertentu pada masalah tersebut agar mudah dipelajari, sehingga gambaran umum penyelesaian yang sebenarya dapat ditemukan
Membuat tabel
Strategi ini digunakan untuk membantu menganalisis permasalahan atau jalan pikiran kita, sehingga segala sesuatunya tidak dibayangkan hanya oleh otak yang kemampuannya sangat terbatas.
Menemukan pola
Strategi ini berkait dengan pencarian keteraturan – keteraturan, keteraturan tersebut akan memudahkan kita dalam menemukan penyelesaiannya.
Memecah tujuan
Strategi ini terkait dengan pemecahan tujuan yang hendak kita capai menjadi satu atau beberapa tujuan bagian. Tujuan bagian ini dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya.
Memperhitungkan setiap kemungkinan
Strategi ini terkait dengan penggunaan aturan-aturan yang dibuat sendiri oleh si pelaku selama proses pemcahan masalah sehinnga tidak ada satu alternatif yang terabaikan.

Berpikir logis
Strategi ini terkait dengan penggunaan penalaran maupun penarikan kesimpulan yang sah atau valid dari berbagai informasi atau data yang ada.
Bergerak dari belakang
Dengan strategi ini, kita mulai dengan menganalisis bagaimana cara mendapatkan tujuan yang hendak dicapai. Dengan strategi ini, kita bergerak dari yang diinginkan lalu menyesuaikan dengan yang diketahui.
Mengabaikan hal yang tidak mungkin
Dari berbagai alternatif yang ada, alternatif yang jelas-jelas tidak mungkin agar diabaikan sehingga perhatian tercurah pada hal-hal masih mungkin.
Mencoba-coba
Strategi ini biasanya digunankan untuk mendapatkan gambaran umum pemecahan masalah dengan mencoba-coba dari yang diketahui.

COOPERATIVE LEARNING dalam PEMBELAJARAN MATEMATIKA

A. Pandangan Konstruktivis mengenai Cooperative Learning
Sebagian besar pembelajaran matematika tradisional berdasarkan pada transmisi, penyerapan dan penggerojokan pengetahuan. Dalam pandangan ini, siswa secara pasif “menyerap” struktur matematika yang diberikan guru atau yang terdapat dalam buku pelajaran. Pembelajaran hanya sekedar penyampaian fakta, konsep, prinsip dan keterampilan kepada siswa (Clements & Battista, 2001).
Pandangan konstruktivis memberikan perbedaan yang tajam dan kontras terhadap pandangan tersebut. Prinsip-prinsip dasar pandangan konstruktivis menurut Clements & Battista (2001) adalah sebagai berikut.
a.    Pengetahuan dibentuk dan ditemukan oleh siswa secara aktif, tidak sekedar diterima secara pasif dari lingkungan. Ide ini dapat diilustrasikan bahwa ide-ide matematika dibentuk oleh siswa, tidak sekedar ditemukan sebagai barang jadi atau diterima dari orang lain sebagai hadiah. Hal ini, senada dengan pendapat Orton (1992:163) bahwa materi dikonstruksi sendiri maknanya oleh siswa.
b.    Siswa mengkonstruk pengetahuan matematika dengan melakukan refleksi fisik dan mental, yaitu berbuat dan berpikir. Ide-ide dikonstruksi secara bermakna dengan cara diintegrasikan ke dalam struktur pengetahuan yang telah ada.
c.    Tidak ada realitas yang sebenarnya, siswa sendirilah yang membuat interpretasi mengenai dunia. Interpretasi ini dibentuk dengan pengalaman dan interaksi sosial. Jadi, belajar matematika harus berupa proses bukan hasil.
d.    Belajar adalah proses sosial. Ide-ide dan kebenaran matematika baik dalam penggunaan dan maknanya ditetapkan secara bersama oleh anggota suatu kelompok masyarakat (budaya).
Pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivis menurut Hudojo (1998) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) siswa terlibat aktif dalam belajarnya. Siswa belajar materi matematika secara bermakna dengan bekerja dan berpikir, (b) informasi baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu dengan skemata yang dimiliki siswa, dan (c) orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Implikasi ciri-ciri pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivis adalah penyediaan lingkungan belajar yang konstruktif. Lingkungan belajar yang konstruktif menurut Hudojo (1998) adalah lingkungan belajar yang memenuhi kriteria berikut ini:
1.    menyediakan pengalaman belajar yang mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan;
2.    menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar;
3.    mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkret;
4.    mengintegrasikan pembelajaran yang memungkinkan terjadinya interaksi dan kerja sama antara siswa;
5.    memanfaatkan berbagai media agar pembelajaran lebih menarik; dan
6.    melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika lebih menarik dan siswa mau belajar.
Pandangan konstruktivis lahir dari gagasan Piaget dan Vygotksy. Keduanya menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsep-konsep yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui proses ketidakseimbangan untuk memahami informasi baru. Piaget dan Vygotksy juga menekankan adanya hakikat sosial dari belajar, dan keduanya menyarankan penggunaan kelompok belajar yang anggotanya terdiri dari siswa dengan kemampuan yang beragam untuk mengupayakan perubahan konseptual. Ide-ide konstruktivis modern sekarang lebih banyak didasarkan pada ide-ide Vygotksy, yang telah digunakan untuk menunjang belajar kooperatif (Nur, Wikandari & Sugiarto, 1999). Bahkan menurut Johar (2001) tokoh-tokoh konstruktivis menganjurkan penggunaan belajar kooperatif. Menurut Sutawidjaja (2002), bahwa belajar kooperatif adalah salah satu alternatif yang perlu digalakkan dalam kontruktivisme karena pertimbangan sebagai berikut.
a.  Siswa yang sedang menyelesaikan masalah bersama-sama dengan teman sekelompoknya dalam kegiatan belajar kelompok masing-masing melihat bagaimana masalah itu dan merancang pemecahannya. Kegiatan ini merupakan cara menumbuhkan refleksi yang membutuhkan kesadaran tentang apa yang sedang dipikirkan dan dikerjakan. Dengan demikian menyediakan kesempatan siswa untuk mengabstraksikan secara aktif.
b. Menjelaskan sesuatu kepada teman biasanya mengarah ke pada siswa untuk melihat sesuatu lebih jelas dan seringkali menemukan ketidakkonsistenan pada pikirannya sendiri.
c. Ketika suatu kelompok kecil menerangkan solusinya ke seluruh kelas (tidak peduli apakah solusi layak atau tidak), kelompok itu memperoleh kesempatan yang berharga untuk mempelajari hasil yang mereka buat.
d. Mengetahui bahwa ada teman sekelompoknya belum bisa menjawab, akan meningkatkan kegairahan setiap anggota kelompok untuk mencoba menemukan jawabannya.
e. Keberhasilan suatu kelompok menemukan suatu jawaban akan menumbuhkan motivasi mereka untuk menghadapi masalah baru.
B. Belajar Kooperatif (Cooperative Learning)
Sekitar tahun 1960-an, belajar kompetitif dan individualistik telah mendominasi pendidikan di Amerika Serikat. Siswa biasanya datang ke sekolah dengan harapan untuk berkompetisi dan tekanan dari orang tua untuk menjadi yang terbaik. Dalam belajar kompetitif dan individualistik, guru menempatkan siswa terpisah dari siswa yang lain. Kata-kata “dilarang mencontoh”, “geser tempat dudukmu”, “Saya ingin agar kamu bekerja sendiri” dan “jangan perhatikan orang lain, perhatikan dirimu sendiri” sering digunakan dalam belajar kompetitif dan individualistik (Johnson & Johnson, 1994). Proses belajar seperti itu masih terjadi dalam pendidikan di Indonesia sekarang ini.
Jika disusun dengan baik, belajar kompetitif dan individualistik akan efektif dan merupakan cara memotivasi siswa untuk melakukan yang terbaik. Meskipun demikian terdapat beberapa kelemahan pada belajar kompetitif dan individualistik, yaitu (a) kompetisi siswa kadang tidak sehat, sebagai contoh jika seorang siswa menjawab pertanyaan guru, siswa yang  lain berharap agar jawaban yang diberikan salah, (b) siswa berkemampuan rendah akan kurang termotivasi, (c) siswa berkemampuan rendah akan sulit untuk sukses dan semakin tertinggal, dan (d) dapat membuat frustrasi siswa lainnya (Slavin, 1995). Untuk menghindari hal-hal tersebut dan agar siswa dapat membantu siswa yang lain untuk mencapai sukses, maka jalan keluarnya adalah dengan belajar kooperatif.
Belajar kooperatif bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai guru dan mungkin sebagai siswa kita pernah menggunakannya atau mengalaminya, sebagai contoh saat bekerja dalam laboratorium. Dalam belajar kooperatif, siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 orang untuk bekerja sama dalam menguasai materi yang diberikan guru (Slavin, 1995; Eggen & Kauchak, 1996; Suherman, 2001). Artzt & Newman (1990:448) menyatakan bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya.
Kelompok belajar kooperatif adalah kelompok yang dibentuk dengan tujuan untuk memaksimalkan belajar antara siswa (Johnson & Johnson, 1994). Setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab terhadap (a) kontribusi mereka dalam usaha mencapai tujuan dan (b) bantuan untuk anggota yang membutuhkan (Johnson & Johnson, 1994).
Belajar kooperatif mempunyai ide bahwa siswa bekerja sama untuk belajar dan bertanggung jawab pada kemajuan belajar temannya. Sebagai tambahan, belajar kooperatif menekankan pada tujuan dan kesuksesan kelompok, yang hanya dapat dicapai jika semua anggota kelompok mempelajari tujuan (penguasaan materi) yang akan dicapai (Slavin, 1995). Johnson & Johnson (1994) menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Karena siswa bekerja dalam suatu tim, maka dengan sendirinya dapat memperbaiki hubungan di antara para siswa dari berbagai latar belakang etnis dan kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan pemecahan masalah (Louisell & Descamps, 1992).
Zamroni (2000) mengemukakan bahwa manfaat penerapan belajar kooperatif adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level individual. Di samping itu, belajar kooperatif dapat mengembangkan solidaritas sosial di kalangan siswa. Dengan belajar kooperatif, diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang memiliki prestasi akademik yang cemerlang dan memiliki solidaritas sosial yang kuat.
Ditinjau dari sudut pandang perkembangan kognitif, belajar kooperatif berdasar pada pendapat Piaget dan Vygotsky (dalam Johnson & Johnson, 1994). Menurut Piaget, ketika siswa bekerjasama dalam suatu lingkungan, konflik sosiokognitif akan terjadi dan membentuk ketidakseimbangan kognitif (disequilibrium). Lebih lanjut, Piaget berpendapat bahwa selama usaha kooperatif, partisipan akan meningkatkan diskusi sehingga konflik kognitif terjadi dan akan dipecahkan serta penalaran yang salah akan nampak dan akan segera dimodifikasi. Menurut Vygotsky pengetahuan adalah bersifat sosial dan belajar terjadi dalam interaksi sosial (dalam Ibrahim & Nur, 2000).  Hal ini, sesuai dengan pendapat Bruner (dalam Ibrahim & Nur, 2000) bahwa interaksi sosial merupakan hal yang penting dalam belajar karena dapat berpengaruh pada perilaku pemecahan masalah oleh siswa. 
            Menurut Johnson & Johnson (1994), terdapat lima unsur penting dalam belajar kooperatif, yaitu seperti berikut ini.
1.      Saling ketergantungan yang bersifat positif antar siswa
      Dalam belajar kooperatif siswa merasa bahwa mereka sedang bekerja sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain. Seorang siswa tidak akan sukses kecuali semua anggota kelompoknya juga sukses. Siswa akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok yang juga mempunyai andil terhadap suksesnya kelompok.
2.      Interaksi antar siswa yang semakin meningkat
       Belajar kooperatif akan meningkatkan interaksi antar siswa. Hal ini, terjadi dalam hal seorang siswa akan membantu siswa lain untuk sukses sebagai anggota kelompok. Saling memberikan bantuan ini akan berlangsung secara alamiah karena kegagalan seseorang dalam kelompok mempengaruhi suksesnya kelompok. Untuk mengatasi masalah ini, siswa yang membutuhkan bantuan akan mendapatkan dari teman sekelompoknya. Interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif adalah dalam hal tukar menukar ide mengenai masalah yang sedang dipelajari bersama.
3.      Tanggung jawab individual
       Tanggung jawab individual dalam belajar kelompok dapat berupa tanggung jawab siswa dalam hal (a) membantu siswa yang membutuhkan bantuan dan (b) bahwa siswa tidak dapat hanya sekedar “membonceng” pada hasil kerja teman sekelompoknya.
4.      Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil
       Dalam belajar kooperatif, selain dituntut untuk mempelajari materi yang diberikan seorang siswa dituntut untuk belajar bagaimana berinteraksi dengan siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana siswa bersikap sebagai anggota kelompok dan menyampaikan ide dalam kelompok akan menuntut keterampilan khusus.
5.      Proses kelompok
       Belajar kooperatif tidak akan berlangsung tanpa proses kelompok. Proses kelompok terjadi jika anggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka akan mencapai tujuan dengan baik dan membuat hubungan kerja yang baik.
Konsep utama dari belajar kooperatif menurut Slavin (1995) adalah sebagai berikut.
1.      Penghargaan kelompok, yang akan diberikan jika kelompok mencapai kriteria yang ditentukan.
2.      Tanggung jawab individual, bermakna bahwa suksesnya kelompok tergantung pada belajar individual semua anggota kelompok. Tanggung jawab ini terfokus dalam usaha untuk membantu yang lain dan memastikan setiap anggota kelompok telah siap menghadapi evaluasi tanpa bantuan yang lain.
3.      Kesempatan yang sama untuk sukses, bermakna bahwa siswa telah membantu kelompok dengan cara meningkatkan belajar mereka sendiri. Hal ini memastikan  bahwa siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah sama-sama tertantang untuk melakukan yang terbaik dan bahwa kontribusi semua anggota kelompok sangat bernilai.
C. Keunggulan Belajar Kooperatif
Menurut Ibrahim dkk (2000) belajar kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar daripada dengan belajar kompetitif dan individualistik. Lebih lanjut, Ibrahim dkk (2000) menyatakan bahwa belajar kooperatif dapat mengembangkan tingkah laku kooperatif dan hubungan yang lebih baik antar siswa, dan dapat mengembangkan kemampuan akademis siswa. Siswa belajar lebih banyak dari teman mereka dalam belajar kooperatif daripada dari guru. Ratumanan (2002) menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif dapat memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Menurut Kardi & Nur (2000) belajar kooperatif sangat efektif untuk memperbaiki hubungan antar suku dan etnis dalam kelas multibudaya dan memperbaiki hubungan antar siswa normal dan siswa penyandang cacat.
Johnson & Johnson (1994) menyatakan bahwa belajar kooperatif dapat digunakan dalam setiap jenjang pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, dalam semua bidang materi dan dalam sebarang tugas. Selain itu, Slavin (1995) menyatakan bahwa belajar kooperatif telah digunakan secara intensif pada setiap subjek pendidikan, dalam semua jenjang pendidikan dan pada semua jenis persekolahan di berbagai belahan dunia.
Uraian di atas, mendorong perlunya pelaksanaan belajar kooperatif dalam pembelajaran khususnya pembelajaran matematika. Pelaksanaan belajar kooperatif sangat diperlukan karena dengan belajar kooperatif dapat diperoleh bahwa (1) siswa dapat belajar lebih banyak, (2) siswa lebih menyukai lingkungan persekolahan, (3) siswa lebih menyukai satu sama lain, (4) siswa mempunyai penghargaan yang lebih besar terhadap diri sendiri, dan (5) siswa belajar keterampilan sosial secara lebih efektif (Johnson & Johnson, 1994).
Davidson (1991) memberikan sejumlah implikasi positif dalam belajar matematika dengan menggunakan strategi belajar kooperatif, yaitu sebagai berikut.
1. Kelompok kecil memberikan dukungan sosial untuk belajar matematika. Kelompok kecil membentuk suatu forum dimana siswa menanyakan pertanyaan, mendiskusikan  pendapat, belajar untuk mendengarkan pendapat dapat orang lain, memberikan kritik yang membangun dan menyimpulkan penemuan mereka dalam bentuk tulisan.
2.  Kelompok kecil menawarkan kesempatan untuk sukses bagi semua siswa dalam matematika. Interaksi dalam kelompok dirancang untuk semua anggota mempelajari konsep dan strategi pemecahan masalah.
3. Masalah matematika idealnya cocok untuk diskusi kelompok, sebab memiliki solusi yang dapat didemonstrasikan secara objektif. Seorang siswa dapat mempengaruhi siswa lain dengan argumentasi yang logis.
4. Siswa dalam kelompok dapat membantu siswa lain untuk menguasai masalah-masalah dasar dan prosedur perhitungan yang perlu dalam konteks permainan, teka-teki, atau pembahasan masalah-masalah yang bermanfaat.
5. Ruang lingkup matematika dipenuhi oleh ide-ide menarik dan menentang yang bermanfaat bila didiskusikan.
6. Matematika memberikan kesempatan untuk berpikir kreatif, matematika menjelajahi situasi yang tidak terbatas, untuk melakukan konjektur dan mengujinya dengan data, untuk mengajukan masalah-masalah yang membangkitkan minat, dan untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak rutin, Siswa dalam kelompok sering dapat menangani situasi yang menantang yang melebihi kemampuan individu pada tingkat perkembangan tertentu.
D. Bentuk Belajar Kooperatif
Belajar kooperatif dapat berbeda dalam banyak cara, tetapi dapat dikategorikan sesuai dengan sifat: (1) tujuan kelompok, (2) tanggung jawab individual, (3) kesempatan yang sama untuk sukses, (4) kompetisi kelompok, (5) spesialisasi tugas, dan (6) adaptasi untuk kebutuhan individu (Slavin, 1995). Terdapat berbagai bentuk belajar kooperatif di antaranya adalah STAD, Jigsaw II dan Investigasi Kelompok (Eggen & Kauchak, 1996).  
a. Students Teams Achievement Divisions (STAD)
            STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan koleganya di Universitas John Hopkin (Ibrahim dkk,. 2000; Ratumanan, 2002). Dalam STAD, siswa dibentuk dalam kelompok belajar yang terdiri dari 4 atau 5 orang dari berbagai kemampuan, gender dan etnis. Dalam praktiknya, guru menyajikan pelajaran dan kemudian siswa bekerja dalam kelompok  untuk memastikan bahwa semua anggota kelompok telah menguasai materi. Selanjutnya, siswa menghadapi tes individual. STAD mempunyai 5 komponen, yaitu (1) presentasi kelas, (2) kelompok, (3) kuis atau tes, (4) skor individual, dan (5) penghargaan kelompok (Slavin, 1995).
b. Jigsaw II
            Jigsaw dikembangkan pertama kali oleh Elliot Aronson dan koleganya di Universitas Texas (Ibrahim dkk., 2000; Ratumanan, 2002). Dalam belajar kooperatif bentuk jigsaw II, siswa bekerja dalam kelompok seperti pada STAD. Siswa diberi materi untuk dipelajari. Masing-masing anggota kelompok secara acak ditugaskan untuk menjadi “ahli (expert)” pada suatu aspek tertentu dari materi. Setelah membaca materi, “ahli” dari kelompok berbeda berkumpul untuk mendiskusikan topik mereka dan kemudian kembali ke kelompok semula untuk mengajarkan topik yang mereka kuasai kepada teman sekelompoknya. Terakhir diberikan tes atau assesmen yang lain pada semua topik yang diberikan.
c. Investigasi Kelompok
            Investigasi Kelompok dikembangkan oleh Shlomo & Yael Sharon di Univesitas Tel Aviv (Slavin, 1995). Investigasi Kelompok adalah strategi belajar kooperatif yang menempatkan siswa ke dalam kelompok untuk melakukan investigasi terhadap suatu topik.
            Perencanaan untuk melakukan bentuk Investigasi Kelompok sama seperti pada bentuk belajar kooperatif yang lain. Perencanaan Investigasi Kelompok melibatkan lima tahap, yaitu (1) menentukan tujuan, (2) merencanakan pengumpulan informasi, (3) membentuk kelompok, (4) mendesain aktivitas kelompok, dan (5) merencanakan aktivitas kelompok secara keseluruhan. Tahap-tahap ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
            Seperti pada perencanaan, implementasi aktivitas meliputi lima tahap yaitu (1) pengorganisasian kelompok dan identifikasi topik, (2) perencanaan kelompok, (3) pelaksanaan investigasi, (4) penganalisisan hasil dan mempersiapkan laporan, dan (5) penyajian laporan.
            Masih banyak lagi bentuk belajar kooperatif lainnya, misalnya Team Assisted Instruction (TAI), Team Game Tournament (TGT), dan Think Pair Share (TPS).

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN TEORI BELAJAR HUMANISTIK

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).
Teori Behavioristik:
1.Mementingkan faktor lingkungan
2.Menekankan pada faktor bagian
3.Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4.Sifatnya mekanis
5.Mementingkan masa lalu

Edward Edward Lee Thorndike (1874-1949): Teori Koneksionisme
Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha –usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan.
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
S R S1 R1 dst
Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja enyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1.Hukum Kesiapan(law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskanPrinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.
Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.

2.Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih (digunakan) , maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3.Hukum akibat(law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.

Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa dipeantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis(Suryobroto, 1984).
Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a.Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b.Hukum Sikap ( Set/ Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun psikomotornya.
c.Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( respon selektif).
d.Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e.Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.

Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian teorinya thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain :
1.Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah.
2.Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
3.Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
4.Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.

Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaiyu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya.



A.Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936).
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjan kedokteran dengan bidang dasar fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi direktur departemen fisiologi pada institute of Experimental Medicine dan memulai penelitian mengenai fisiologi pencernaan. Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel pada bidang Physiology or Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi psikology behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah Work of Digestive Glands(1902) dan Conditioned Reflexes(1927).
Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaanny terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu (Bakker, 1985).
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang didinkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kin sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat(kondisi) untuk timbulnys air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons.
Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia.
Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dpat diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan.
Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehar-jhari ada situasi yang sama seperti pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim Walls yang berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi setelah si pejual es krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila tidak ada lagu trsebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Contoh lai adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu atau tombol antrian di bank. Tanpa disadari, terjadi proses menandai sesuatu yaitu membedakan bunyi-bunyian dari pedagang makanan(rujak, es, nasi goreng, siomay) yang sering lewat di rumah, bel masuk kelas-istirahat atau usai sekolah dan antri di bank tanpa harus berdiri lama.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

Burrhus Frederic Skinner (1904-1990).
Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938, Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of Organism. Dalam perkembangan psikologi belajar, ia mengemukakan teori operant conditioning. Buku itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi tahunan yang dimulai tahun 1946 dalam masalah “The Experimental an Analysis of Behavior”. Hasil konferensi dimuat dalam jurnal berjudul Journal of the Experimental Behaviors yang disponsori oleh Asosiasi Psikologi di Amerika (Sahakian,1970)
B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik.
Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa pengantar dari guru secara searah dan dikontrol guru melalui pengulangan dan latihan.
Menajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yanag tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant ( penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Skinner membuat eksperimen sebagai berikut :
Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yangdapat diatur nyalanya, dan lantai yanga dapat dialir listrik. Karena dorongan lapar tikus beruasah keluar untuk mencari makanan. Selam tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping.

Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang.

Beberapa prinsip Skinner antara lain :
1.Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika bebar diberi penguat.
2.Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3.Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
4.Dalam proses pembelajaran, tidak digunkan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah, untukmenghindari adanya hukuman.
5.dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri.
6.Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variabel Rasio rein forcer.
7.Dalam pembelajaran digunakan shaping.

Robert Gagne ( 1916-2002).
Gagne adalah seorang psikolog pendidikan berkebangsaan amerika yang terkenal dengan penemuannya berupa condition of learning. Gagne pelopor dalam instruksi pembelajaran yang dipraktekkannya dalam training pilot AU Amerika. Ia kemudian mengembangkan konsep terpakai dari teori instruksionalnya untuk mendisain pelatihan berbasis komputer dan belajar berbasis multi media. Teori Gagne banyak dipakai untuk mendisain software instruksional.
Gagne disebut sebagai Modern Neobehaviouris mendorong guru untuk merencanakan instruksioanal pembelajaran agar suasana dan gaya belajar dapat dimodifikasi. Ketrampilan paling rendah menjadi dasar bagi pembentukan kemampuan yang lebih tinggi dalam hierarki ketrampilan intelektual. Guru harus mengetahui kemampuan dasar yang harus disiapkan. Belajar dimulai dari hal yang paling sederhana dilanjutnkanpada yanglebih kompleks ( belajar SR, rangkaian SR, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi(belajar aturan danpemecahan masalah). Prakteknya gaya belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi stimulus respon.

Albert Bandura (1925-masih hidup).
Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925 di Mondare alberta berkebangsaan Kanada. Ia seorang psikolog yang terkenal dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri. Eksperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.

Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi adalah:
1.Perhatian, mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik pengamat.
2.Penyimpanan atau proses mengingat, mencakup kode pengkodean simbolik.
3.Reprodukdi motorik, mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan balik.
4.Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.

Selain itu juga harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip prinsip sebgai berikut:
1.Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya.
2.Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
3.Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan dihargai dan perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.

Karena melibatkan atensi, ingatan dan motifasi, teori Bandura dilihat dalam kerangka Teori Behaviour Kognitif. Teori belajar sosial membantu memahami terjadinya perilaku agresi dan penyimpangan psikologi dan bagaimana memodifikasi perilaku.
Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan secara massal.

Aplikasi Teori Behavioristik terhadap Pembelajaran Siswa
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
a.Mementingkan pengaruh lingkungan
b.Mementingkan bagian-bagian
c.Mementingkan peranan reaksi
d.Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
e.Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
f.Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
g.Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana samapi pada yang kompleks.

Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifaat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behavioristik mempunyai persyartan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti :
Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif , perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oelh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.



TEORI BELAJAR HUMANISTIK

Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. \proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :
1.Proses pemerolehan informasi baru,
2.Personalia informasi ini pada individu.

Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.

a.Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.

b.Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
(1)suatu usaha yang positif untuk berkembang
(2)kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.

c.Carl Rogers
Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak.
Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1.Kognitif (kebermaknaan)
2.experiential ( pengalaman atau signifikansi)

Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1.Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2.Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
3.Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
4.Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.

Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :
a.Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b.Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c.Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d.Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e.Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f.Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g.Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h.Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i.Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j.Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondidi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1.Merespon perasaan siswa
2.Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3.Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4.Menghargai siswa
5.Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6.Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari siswa)
7.Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.

Implikasi Teori Belajar Humanistik
a. Guru Sebagai Fasilitator
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk):
1.Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
2.Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3.Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4.Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5.Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
6.Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7.Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8.Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
9.Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
10.Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.


Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Siswa

Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :
1.Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2.Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
3.Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri
4.Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
5.Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
6.Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7.Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8.Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa

Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.

Sumber:
1.Psikologi Belajar: Dr. Mulyati, M.Pd
2.Psikologi Belajar: Drs. H. Abu Ahmadi dan Drs. Widodo Supriyono
3.Psikologi Pendidikan: Sugihartono,dkk
4.Psikologi Pendidikan: Rochman Natawidjaya dan Moein Moesa
5.Landasan Kependidikan: Prof. Dr. Made Pidarta